Meski sudah memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, akan tetapi pribahasa ‘Dalamnya Laut Dapat Diukur Dalamnya Hati Siapa Yang Tahu’, menjadi satu ungkapan yang tepat dalam melihat peristiwa tersebut.

Pasalnya, tidak hanya di kalangan da’i dan mubaligh saja, rekomendasi yang dikeluarkan Menag Lukman Hakim tidak dapat ditolak untuk masuk dalam ranah politik. Sebab, kebijakan yang diambil Menag merupakan kebijakan publik bermuatan politik.

Dari landasan tersebut, kemudian muncul kekhawatiran, apa yang dilakukan pemerintah melalui Menag sebagai bentuk upaya membelah atau sedang menerapkan politik belah bambu, dan itu kuat dugaannya dengan kondisi umat Islam yang justru tengah bersatu alias memperkuat ‘shaf-shaf shalatnya’ pasca sejumlah peristiwa Pilkada DKI Jakarta.

Terlebih lagi, adanya dukungan dari sejumlah mubaligh maupun dai yang sangat keras mengingatkan agar pemerintah tidak menyalahgunakan amanah yang diberikan. Sehingga, salah satunya, upaya yang dilakukan dengan mencoba membelah bukan ditingkatan grassroot atau akar rumput  melainkan pada tataran para ulama.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan menyebut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ngawur dan blunder terkait dengan daftar 200 nama mubaligh tersebut. Menurut Zulkifli, rekomendasi Lukman itu merupakan politik pecah belah.

“Itu politik belah bambu, terhadap ulama, terhadap anak negeri, 200 diambil, yang lain dipijak,” katanya saat memberikan sambutan dalam acara peringatan 20 tahun reformasi di Gedung Nusantara, Senayan, Senin, 21 Mei 2018.

Masih kata dia, keputusan rekomendasi 200 mubaligh Kemenag dapat menimbulkan rasa saling curiga dan menghujat.

Tidak jauh berbeda, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang mengatakan, memang Kementerian Agama harus berpolitik, tetapi dalam hal ini politik yang dilakukan Kemenag sangatlah konyol.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago sependapat jika keputusan rekomendasi yang dikeluarkan di tahun politik, maka sangat kental dengan bau amis politiknya. Bahkan, sangat berkorelasi dengan kepentingan Pemilu 2019 nanti.

“Jelas dan kental sekali bau amis politiknya, ngak bisa dinafikan ada korelasinya dengan Pemilu 2019,” kata Pangi kepada aktual.com, Sabtu (26/5).

Menurut dia, politik belah bambu yang sedang dilakukan Menag sangat jelas dengan menghadap-hadapkan ulama yang pro dengan Jokowi dengan yang tidak alias yang mendukung #2019GantiPresiden.

“Contohnya sederhana menggapa Abdul Somad ngak masuk dalam list daftar ulama yang moderat versi Kemenag, jawabannya sederhana karena Abdul Somad berseberangan secara politik dengan Jokowi, ngak satu chemestry,” ucapnya.

“Ini sudah ada upaya adu domba dan menghadap hadapkan. Ini jelas akan memunculkan gesekan, dan yang pasti ini akan mematikan sentimen,” sebut pengamat politik yang akrab disapa Ipang itu.