Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (kiri) menunjukkan buah apel impor yang berada dalam Kontainer di Terminal Peti Kemas Surabaya, Jawa Timur, Jumat (4/3). Badan Karantina Pertanian menahan 609,9 ton buah jeruk, apel, pir asal Tiongkok yang tidak dilengkapi dengan surat jaminan kesehatan dalam 34 kontainer. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Perbedaan data beras antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Kementerian Pertanian dapat menciderai kepercayaan publik atau menggerogoti elektabilitas yang telah dibangun Presiden Jokowi selama empat tahun kepemimpinannya. Agar tidak menggerogoti kepercayaan publik, Jokowi disarankan mencabut benalu dari kabinetnya, terlebih di tahun politik menjelang Pemilu 2019.

“Untuk apa Presiden mempertahankan benalu dalam kabinetnya kalau seandainya hanya menggerogoti kepercayaan publik,” tukas Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Jayabaya Dr Lely Ariannie, Kamis (25/10).

Namun langkah pemecatan terhadap Menteri Pertanian Amran Sulaiman kata Lely harus dilakukan dengan tepat, yakni memanggil Mentan dan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) terkait perbedaan data produksi beras hingga akhir tahun 2018. Pemanggilan ini untuk memastikan dimana letak persoalan data yang membuat berbeda.

Langkah lain pemerintah dalam upaya memastikan validitas data menurut Lely adalah dengan melibatkan fungsi pengawasan DPR. Hal ini sekaligus menegaskan kepada masyarakat bahwa eksekutif dan legislatif punya sikap yang sama dalam hal kepastian kebutuhan beras rakyat.

“Hal ini untuk menjawab bagaimana seharusnya pemerintah melaksanakan peran untuk kepentingan rakyat,” ucapnya.

Bahkan kata Lely, membuka validitas data di parlemen secara transparan tidak menutup kemungkinan bisa mengungkap pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari persoalan ini.

Perbedaan data itu terlihat versi BPS yang menyebut surplus produksi beras 2018 hanya mencapai 2,8 juta ton, jauh di bawah data atau perhitungan Kementan. Berdasarkan laman resmi Kementan, surplus beras tahun ini sebesar 13,03 juta ton. Perhitungan tersebut dari produksi beras 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, sementara total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton.

Pemecatan terhadap Mentan Amran kata Lely bisa diartikan sebagai respon ketegasan pemerintah untuk tetap menjaga kepercayaan publik.

ICW Dorong Pengusutan Oleh KPK
Di kesempatan berbeda, Pengamat politik Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai, perbedaan data ini merupakan persoalan yang berlarut-larut dan selalu muncul dari tahun ke tahun, dan berujung pada tahun politik. Ia tak menafikan, polemik soal beras dan impor, menjadi persoalan yang mengganggu pemerintahan Jokowi.

Ujang Komarudin memandang, sangat sulit mengampanyekan keberhasilan dan kesuksesan pemerintah jika sumber datanya berbeda. Akibatnya, kubu oposisi bisa menangkap isu yang seksi ini untuk bisa ‘menembak’ pemerintah.

“Mengkritik itu tergantung momentumnya. Sekarang sudah ada momentum karena data yang tidak sama itu tidak mampu dituntaskan meski sempat disebut akan diselesaikan,” katanya.

Buat Indonesia Corruption Watch ( ICW) persoalan data produksi beras Kementan yang jauh panggang dari api, jika disandingkan dengan data BPS, bukanlah persoalan politik semata.

ICW menilai, kalau berbicara mengenai pemerintah yang professional, yang bekerja berdasarkan intergritas dan kepatutan, jika memang indikasi korupsi terbukti dilakukan tidak ada masalah presiden mengganti Menteri yang bersangkutan.

Koordinator Divisi Riset Firdaus Ilyas mengatakan, bahwa kejadiannya ini harusnya diivenstigasi secara komprehensif lagi. ICW melalui Firdaus mendorong pihak yang memiliki wewenang dalam penindakan korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menidaklanjuti. KPK didorong untuk melakukan kroscek menyeluruh secara objektif berdasarkan dua data tersebut.

“Kalau dikatakan metodenya yang berbeda, kan yang di-sampling dan disurvei itu sama. Apalagi untuk data nasionala, BPS itu kan dibentuk oleh Undang-Undang (UU), memiliki kewenangan untuk mengumpulkan data per instansi dan menjadi pusat data untuk nasional. Data BPS data official loh,” tegas Firdaus, Rabu (24/10).

Sejatinya, menurut Firdaus, seharusnya Kementan melakukan pendataan kembali secara komprehensif, akuntabel, dan faktual. Melihat berapa kebutuhannya, berapa yang harus diisi oleh mekanisme pasar atau impor dan seterusnya. Secara umum Kementan harus memastikan apakah betul data BPS menunjukkan angka itu, atau memang harus mengakui kesalahan.

Di sisi lain, ICW mendesakkan pula agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) untuk melakukan audit komprehensif terkait neraca pangan Indonesia dan bagaimana kinerja penanganan pangan Indonesia sehingga dapat didapatkan gambaran awal persoalan.

Artikel ini ditulis oleh: