Ketua DPR Bambang Soesatyo sempat mencuatkan wacana untuk mengkaji sistem Pilkada Langsung. Politisi Golkar ini menyimpulkan korupsi yang masif diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah secara langsung.

“Kami memberikan masukan (ke KPK) berdasarkan masukan dari masyarakat bahwa ada sebagian publik menilai pilkada langsung lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, karena makin memperbesar korupsi di daerah-daerah,” kata Bambang, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (12/3/2018).

Ia menilai jika sistem pilkada langsung semakin memperbesar korupsi lantaran para calon yang maju membutuhkan biaya yang tinggi. “Karena untuk maju sebagai kepala daerah itu sangat dibutuhkan biaya yang sangat tinggi, dan akhirnya ujung-ujungnya korupsi,” kata Bambang.

Bambang sendiri meminta KPK melakukan kajian terhadap permasalahan ini. “Kita minta kepada KPK untuk melakukan pengkajian, apakah benar apa yang disampaikan sebagian masyarakat kepada kami di DPR, bahwa pilkada langsung ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, terutama terkait pada upaya-upaya pemberantasan korupsi,” kata Bambang.

Ketua KPK sendiri tidak mau terburu-buru menjawab kesimpulan Bambang Soesatyo, Meski begitu ia akan mencoba melakukan kajian terkait pemasalahan ini,

“Nanti kami undanglah banyak ahli, banyak pakar kami undang. Untung-ruginya, baik-buruknya, apakah pilkada langsung, apakah pilkada keterwakilan seperti yang lalu,” kata Agus.

Sementara itu juru bicara KPK, Febri Diansyah berpendapat tidak sepenuhnya tepat jika mengambinghitamkan sistem pilkada langsung seolah sebagai penyebab korupsi.

Ia justru menilai korupsi terjadi karena biaya kontestasi politik yang sangat tinggi.

“Jika biaya kontestasi politik yang tinggi yang jadi masalah, maka tentu hal itu yang harus diselesaikan,” kata mantan aktivis Indonesia Coruption Watch tersebut beberapa waktu yang lalu.

Febri menuturkan sejauh ini KPK telah memproses sekitar 122 orang anggota DPRD dalam kasus korupsi. Kasus itu berkaitan dengan kewenangan DPRD dalam pembentukan regulasi, anggaran, dan bahkan pengawasan diselewengkan dengan imbalan sejumlah uang. Menilik kasus-kasus itu, menurut Febri, tindak korupsi dapat terjadi baik saat kepala daerah dipilih oleh DPRD atau rakyat secara langsung melalui pemungutan suara di TPS.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby