Jakarta, Aktual.com – Kuasa hukum Habil Marati, Yusril Ihza Mahendra, melemparkan wacana amnesti dan abolisi untuk para tersangka kasus dugaan makar. Respons berbeda pun bermunculan atas wacana pengampunan itu.

Wacana amnesti dan abolisi ini disampaikan saat Yusril membicarakan kasus yang dihadapi kliennya. Yusril mengatakan Habil Marati membantah telah memberikan uang kepada Kivlan Zen untuk membeli senjata dalam kasus dugaan rencana pembunuhan empat pejabat nasional.

Yusril mengatakan versi yang disampaikan penyidik dengan versi dari kliennya tentu akan berbeda. Penyidik juga, kata Yusril, akan memeriksa saksi dan tersangka lain sebab kasus dugaan makar ini tidak dilakukan sendirian.

“Sebagai advokat sementara ini saya berada di tengah. Saya ingin melihat persoalan Habil ini secara obyektif,” kata Yusril kepada wartawan, Senin (15/7).

Yusril menilai sangkaan terhadap Habil Marati merupakan kejahatan yang terkait politik dan keamanan negara setelah hasil Pilpres 2019 diumumkan. Sedangkan tensi politik saat ini, menurut Yusril, sudah mulai cair setelah Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto bertemu.

“Andai kata kasus Habil, Kivlan Zein, Sunarko dan yang lain dinilai penyidik ternyata cukup bukti untuk dilimpahkan, proses peradilan tentu akan berjalan terus. Apapun keputusan Penyidik Polri dalam menegakkan hukum harus kita hormati,” ujar Yusril.

Yusril mengatakan Jokowi bisa mengambil langkah amnesti dan abolisi terhadap mereka yang diduga makar. Namun Yusril tak mau ikut cawe-cawe dan menyerahkan sepenuhnya hal itu kepada Jokowi.

“Bisa saja, Presiden mengambil langkah memberikan amnesti dan abolisi terhadap mereka yang diduga terlibat makar ini,” ujarnya.

“Tapi saya tidak mau berandai-andai dalam urusan ini, karena itu merupakan kewenangan Presiden yang tidak dapat dicampuri oleh siapapun,” sambung Yusril.

Wacana itu kemudian ditanggapi kuasa hukum Kivlan Zen, Tonin Tachta. Tonin mengaku tidak sepakat dengan wacana tersebut.

“Polisi saja. Kalau amnesti dan abolisi setelah selesai di pengadilan. Terdakwa saja belum,” kata Tonin Tachta kepada wartawan, Senin (15/7).

Tonin mengatakan amnesti dan abolisi tidak tepat diterapkan terhadap kliennya. Jika memang ada maksud baik, Tonin menyarankan polisi saja yang berupaya menghentikan penyidikan kasus Kivlan Zen.

“Jadi kan begini, amnesti-abolisi itu diberikannya kapan, tentu setelah orang di pengadilan. Orang saja jadi terdakwa belum. Yang ada deeponering, penghapusan hak penuntutan. Selesaikan dengan hukum atau cabut laporan-laporannya, apakah laporan A atau laporan B,” ujar dia.

Menurut Tonin, amnesti dan abolisi terhadap tersangka makar justru akan membuat kesusahan Jokowi. Toni menyebut Jokowi akan dibebani oleh kasus-kasus makar tersebut, padahal dirinya belum dilantik jadi presiden untuk periode kedua.

“Kalau Pak Jokowi dituntut amnesti dan abolisi, kasihan Pak Jokowi, dilantik saja belum. Pak Jokowi kan presiden yang baik dan bagus, masa belum apa-apa sudah dibebani yang begitu. Polisinya sajalah punya kesadaran sendiri,” tuturnya.

Pandangan berbeda disampaikan pengacara Lieus Sungkharisma, Hendarsam Marantoko. Dia sepakat para tersangka makar diampuni sebab kasus politik saat ini sudah reda.

“Di samping itu kasus makar itu kasus politik, ketika kasus politiknya sudah reda dan terjalin suatu pemahaman, tentu hukum juga harus mengikuti itu dengan rule of law nya yang berlaku,” kata Hendarsam kepada wartawan, Senin (15/7).

Hendarsam mengatakan wacana pengampunan terhadap tersangka makar itu sudah bergulir sejak lama. Namun Hendarsam mengaku akan berkonsultasi dengan kliennya terlebih dahulu terkait wacana tersebut.

Sementara itu, pengacara Eggi Sudjana, Alamsyah Hanafiah, Presiden Jokowi sebaiknya memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dibandingkan memberikan amnesti dan abolisi. Penerbitan SP3 itu juga, menurut Alamsyah, sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku.

“Kalau dalam tahap penyidikan polisi, itu cukup surat penghentian penyidikan. (Sesuai) yang diberikan kepada Polri oleh UU, KUHAP,” kata Alamsyah kepada wartawan, Senin (15/7).

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan