Menelaah gejolak Xinjiang dari sisi sentimen serta agama, memang aktual dan tidak keliru, selain muslim Uighur menjadi obyek diskriminasi, juga yang utama karena keberadaan kamp-kamp cuci otak (konsentrasi) oleh rezim komunis Cina terhadap minoritas Uighur.

Peristiwa itu memunculkan berbagai reaksi dan solidaritas di banyak negara berbasis sentimen, kemanusiaan dan HAM. Akan tetapi, bila terlalu larut pada isu sentimen atau HAM saja, sebuah kajian agak sulit menggali benang merah dan pokok permasalahan yang sebenarnya terjadi.

Berdasarkan kajian tim riset Aktual, terungkap beberapa simpul penting yang wajib diwaspadai bersama–yang seharusnya juga menjadi perhatian serius selain kepentingan Cina terhadap wilayah Xinjiang.

Adapun fakta yang perlu diungkap namun jarang diberitakan adalah tentang kepentingan tersembunyi (hidden agenda) AS terhadap wilayah Xinjiang yang juga perlu dipahami bersama. Mari kita petakan simpul strategis kepentingan AS terhadap wilayah Xinjiang yang berpenduduk mayoritas Muslim tersebut.

Wilayah Xinjiang adalah wilayah yang kaya sumber daya alam mineral, antara lain, selain sebagai produsen minyak signifikan karena 25% total cadangan minyak dan gas, juga 38% cadangan batubara Cina berada di Xinjiang. Belum lagi telah ditemukan potensi minyak di Lembah Janggar, termasuk 122 mineral langka di antaranya — menurut Science.gov ada potensi cadangan uranium di Yili dan Basin. Dari keadaan ini yang perlu kita sorot adalah strategi manuver geopolitik para Kapitalis Global.

Wilayah Xinjiang merupakan simpul vital bagi One Belt One Road (OBOR), proyek Jalur Sutra Modern yang digagas Xi Jinping yang telah melintas 60-an negara di Asia Afrika bahkan hingga Eropa dimana secara kuantitas, geliat OBOR sudah melebihi Commonwealth yang beranggota 53 negara ex-jajahan Inggris. Tentunya AS sebagai rival Cina punya agenda untuk melumpuhkan kekuatan Cina di jantungnya Jalur Sutra, yakni di Xinjiang.

Geoposisi Xinjiang berbatasan dengan Kirgistan, Kazaktan, Mongol, Rusia, dll menjadikan Xinjiang sebagai jalur utama penghubung antara Cina dengan Asia Selatan dan Eurasia, termasuk lintasan proyek fiber optik yang membentang antara Shanghai – Frankfrut. Tentunya bagi Barat, wilayah Xinjiang harus ditaklukan secara total. Kenapa? Sebab banyak leverage atas takdir geopolitik dan geoposisi wilayah Xinjiang.

Perspektif tentang ketertindasan Muslim Uighur memang tidak salah dan sangat aktual, karena terbukti — akibat framing sentimen tersebut menimbulkan ombak solidaritas dan gelombang protes di berbagai negara. Namun dengan adanya Framing gencar media Barat perlu di waspadai pula, sebab dibalik pemberitaan Framing yang masif seringkali terselip agenda terselubung.

Ditengarai ada upaya menggiring opini bahwa wilayah Xinjiang adalah wilayah konflik, maka sesuai asumsi tersebut jalan pintas bagi penguasa yang berkomplot dengan negara adidaya menciptakan huru-hara guna “memindah” warga lokal dari daerah asalnya melalui konflik horizontal.

Sejalan dengan pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik, jangan-jangan sedang ada upaya penarikan pasukan Amerika dan sekutu dari Suriah oleh Donald Trump kelak justru dimobilisir ke Xinjiang atas nama pelanggaran HAM? Bila dugaan ini terjadi, bukan tidak mungkin AS sedang menciptakan pra-kondisi bagi wilayah Xinjiang sebagai wilayah konflik.

Sudut pandang yang tepat dalam menyikapi hal ini adalah melihat dari sisi pertarungan antar negara adikuasa kemudian mengerucut pada putusan untuk melumpuhkan Cina di jantungnya Jalur Sutra, Xinjiang.

Negeri kaya Sumber Daya Alam seringkali menjadi tragedi “tanah kutukan” agaknya berulang di Xinjiang. Retorikanya sederhana, “Seandainya Xinjiang hanya penghasil bakpao dan sandal jepit, mungkinkah ada mobilisir suku Han mendesak Uighur dan diberdirikan kamp-kamp konsentrasi oleh rezim komunis?” Bahkan AS turut memberitakan kondisi ini secara gencar?

Akibat dari kondisi ini warga sipil yang mayoritas beragama Islam di Xinjiang menjadi korban eksploitasi dua negara adidaya. Ibarat dua gajah tarung landak mati di tengahnya.

Dari simpulan sementara tersebut, diharapkan kita lebih berhati-hati dalam menentukan sikap, khususnya dalam menyikapi framing pemberitaan media Barat, agar kita tidak mudah terjebak dan larut kedalam “hidden agenda” kepentingan negara adidaya.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.