Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menyarankan, pemerintah memang sedang gencar mengejar ketertinggalan di segala aspek dengan membangun infrastruktur sebagai penopangnya. Di satu sisi, maraknya pembangunan infrastruktur turut mendorong kenaikan pertumbuhan impor untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dalam negeri. Jumlah impor yang lebih tinggi dari ekspor menyebabkan defisit neraca perdagangan.

Defisit neraca perdagangan berperan membentuk neraca transaksi berjalan, dan kemungkinan akan jadi defisit transaksi berjalan jika dalam bidang jasa Indonesia juga lebih banyak impor ketimbang ekspor. Meski sepakat dengan pemerintah yang ingin menunda proyek infrastruktur, Mirza mengingatkan supaya penundaan dilakukan dengan turut mempertimbangkan prioritas nasional.

Jika ada proyek yang belum terlalu mendesak dan punya kandungan impor yang tinggi, bisa ditunda dan dilanjutkan nanti. “Nanti pemerintah bisa melihat mana proyek-proyek yang penting dan prioritas,” tutur Mirza.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira setuju jikah pemerintah menunda sejumlah proyek infrastruktur. Penundaan tersebut untuk menjaga defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) pada 2018. Dia menambahkan pengendalian impor bisa dimulai dengan menahan proyek infrastruktur pemerintah yang masih dalam tahap perencanaan atau yang tidak sesuai target.

“Misalnya, proyek pembangkit listrik 35 ribu MW (Mega Watt) yang awalnya didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi 7 persen. Saat ini ekonomi cuma tumbuh 5 persen, maka proyek pembangkit wajib dirasionalisasi,” jelasnya.

Bhima menambahkan dengan menunda pembangunan infrastruktur ada tiga manfaat yang diterima Indonesia. Pertama, menyelamatkan rupiah. “Pelemahan rupiah disumbang oleh naiknya impor besi baja hingga 39 persen dari Januari-Mei 2018. Nilainya enggak tanggung-tanggung, yaitu USD4,2 miliar. Belum ditambah impor mesin peralatan listrik naik 28 persen nilainya USD8,9 miliar. Itu sebagian digunakan untuk proyek infrastruktur,” katanya.

Kedua, Bhima menambahkan, proyek infrastruktur didanai melalui utang dalam bentuk valas. Menurut dia, kewajiban cicilan dan pembayaran bunga utang tiap tahunnya turut menguras devisa, sehingga harus direm dalam kondisi ekonomi melemah.

Terakhir kata dia, soal devisa tenaga kerja dari Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di proyek infrastruktur. “Mereka mendapatkan uang yang akan dikonversi ke mata uang negara asalnya. Jadi, ada capital flight dari devisa TKA. Itu pun bisa dikurangi,” katanya.

 

Oleh: Arbie Marwan

[pdfjs-viewer url=”http%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F07%2FFanzine-210718_5-Strategi-Atasi-Membengkaknya-Defisit-Transaksi-Berjalan.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]