Dalam jumpa persnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah resmi menunjuk Yusril Ihza Mahendara sebagai kuasa hukum. Itu dilakukan untuk menghadapi pemerintah yang berencana membubarkan HTI. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yusril Ihza Mahendra, menyebut pemerintahan Joko Widodo sedang memonopoli atas tafsir Pancasila. Monopoli tafsir inipun disebutnya sebagai tindakan ahistoris.

“Seolah-olah pancasila cuma milik mereka. Seolah-olah mereka penafsir yang benar tentang Pancasila, saya tidak bisa terima,” tegasnya saat ditemui di Ihza & Ihza Law Firm, Jakarta Selatan, Selasa (23/5).

Bagi Yusril, hal ini adalah masalah serius yang harus dicari titik terangnya. Pasalnya, tindakan pemerintah ini akan memakan banyak korban bagi pihak-pihak yang memiliki perbedaan tafsir terhadap Pancasila.

“Persoalannya kan sekarang pemerintah mengklaim bahwa seolah-olah hanya dia yang Pancasila,” jelasnya.

Ia menyebut bahwa penafsiran pemerintah merupakan penafsiran atas Pancasila yang dicetuskan oleh Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mencantumkan sila ketuhanan sebagai sila yang terakhir.

Dalam kelanjutannya, muncul Piagam Jakarta sebagai perkembangan dari sidang BPUPKI. Piagam Jakarta akhirnya mencantumkan syariat Islam dalam sila ketuhanan.

Pancasila yang kita kenal sekarang ini merupakan dasar negara yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Menurut Yusril, sebaiknya pemerintah jangan sampai justru menjadi pihak yang dianggap mengabaikan fakta sejarah.

“Sudahlah, Pancasila yang diputuskan 18 Agustus 1945 kan merupakan kompromi antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis. Jangan diputar-putar sejarahnya,” jelasnya.

Ia pun menyebut tindakan pemerintahan saat ini tak ubahnya dengan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, khususnya tindakan yang diambil jika terdapat pihak yang berbeda pendapat dengan pemerintah.

“Kalau berbeda pendapat dengan pemerintah, kita disebut anti pancasila segala macem. Jadi sama seperti Pak Harto (Soeharto), awal jadi presiden seperti itu. Kalau Pak Harto akhirnya nggak seperti itu, sudah berubah,” pungkasnya.

 

Laporan Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh: