Penjahit menyelesaikan pembuatan Bendera Merah Putih di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Jumat (5/8/2016). Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan, sejumlah konveksi dan perajin bendera di Pasar Senen mengalami peningkatan omzet.

Jakarta, Aktual.com – Gelora jiwa merdeka bangsa ini terasa meredup. Percikan api semangatnya bahkan tak lagi berpijar kuat   pada peringatan Hari Kemerdekaan. Kegairahan spontanitas rakyat untuk memeriahkan ruang publik dengan kibaran bendera dan umbul-umbul, kerlip lampu hias, aneka festival dan karnaval solidaritas multikultural terasa lebih senyap. Harapan kesemarakan tinggal mengandalkan inisitatif Istana, yang merencanakan peringatan yang lebih spektakuler, sebagai   rekaan impresi permukaan dengan jiwa yang kosong.

Saat ritus tahunan pesta patriotik kerakyatan ini menghambar, yang  merebak diruang publik adalah aneka skandal, pengangkatan pejabat tinggi tanpa parameter ideologis-yuridis, gaya kepremanan pembesar negara dalam meredam kritik publik, akrobat elit politik tuna-etika, serta panen raya aneka gunjingan dan caci-maki dimedia   sosial. Suatu suasana yang mengajarkan warga untuk tidak mempercayai siapapun.

Kelesuan gairah kemerdekaan ini pantas dirisaukan. Meski  kelihatannya sekadar ritus biasa, kandungan maknanya tak bisa disepelekan. Dalam momen ini, sekat-sekat kelas, etnis, dan agama   lebur melahirkan horizontal comradeship dan nasionalisme kerakyatan.

Di sinilah kekuatan khas Indonesia tampak. Peringatan kemerdekaan   dirayakan oleh berbagai bangsa di dunia, tapi (biasanya) tingkat kemeriahan dan keluasan partisipasinya nyaris tak ada yang menandingi Indonesia. Ini terjadi karena perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya melibatkan elite lewat gelanggang politik   dan diplomasi, melainkan juga menyertakan tembang, puisi, bambu runcing, dan air mata rakyat semesta.

Konsekuensi tak terduga dari kebijakan penjajahan Jepang yang   memobilisasi dukungan rakyat hingga ke pedesaan dalam rangka Perang Asia Timur Raya telah memberi kesempatan dalam pembentukan bangsa ini untuk bertransformasi dari kesadaran kebangsaan elitis menuju  kebangsaan kerakyatan (volksnation). Inilah yang membuat kebanyakan rakyat negeri ini, betapapun terus-menerus dikhianati dan dikorbankan para pemimpinnya, tetap saja mencintai bangsanya.

Upacara seperti ini pun sangat penting untuk merajut kembali   bangun retak kebangsaan. Sebuah bangsa terbentuk karena jaringan   memori kolektif yang menimbulkan bayangan imajiner tentang kerabat sebangsa. Dalam hal ini, ingatan dan pengetahuan ke belakang   merupakan jangkar penemuan jati diri bangsa. Kenyataan dan perilaku kita hari ini sangat ditentukan oleh pengenalan sejarah masa lampau. Adapun bayangan kesilaman dan pengetahuan kesejarahan   dibawa dan dijaga oleh upacara peringatan (commemorative ceremonies).

“Upacara peringatan,” kata Paul Connerton (1989),” akan benar-benar  bersifat komemoratif jika berbentuk pergelaran (permormative);   dan pergelaran ini tak terbayangkan tanpa konsep kebiasaan (habit); adapun kebiasaan tak terbayangkan tanpa praktek olah tubuh (tampilan fisik), seperti cara berbusana, dekorasi, dan cara bertingkah.” Dengan demikian, kemeriahan pesta rakyat dalam memperingati kemerdekaan, dengan segala pergelarannya itu,   bersifat konstruktif untuk menambatkan kembali bangsa pada jangkar jati dirinya.

Namun segala bentuk peringatan akan memperoleh kepenuhan maknanya   jika mengandung  dimensi korektif:menyelami (tradisi) masa lalu  untuk menemukan (visi) masa depan. Dalam konteks ini, upacara peringatan merupakan ruang “sela” (liminal) yang memberi kita kesempatan untuk jeda dari rutinitas demi melahirkan energi baru.

Upacara peringatan sebagai titik liminal ini diharapkan menjadi momen reflektif bagi segenap bangsa; dari mana kita bermula, di mana kita sekarang, dan hendak kemana  kita menuju, dengan   menginsyafi kesalahan dan penyimpangan yang dilakukan untuk kembali ke fitrah kemuliaannya sebagai bangsa.

Selepas peringatan, diharapkan terjadi proses restorasi etos dan  etika kebangsaan dengan komitmen luhur untuk menggelorakan api semangat proklamasi. “Semangat proklamasi,” ujar Bung Karno, “adalah semangat rela berjoang, berjoang mati-matian dengan penuh   idealisme. Semangat proklamasi adalah semangat persatuan,   persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat   membangun negara…Dan manakala sekarang ada tanda-tanda   kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!”

Untuk menghidupkan kembali semangat proklamasi diperlukan para   pahlawan. Mereka yang terus-menerus memproduksi pahala dengan menyemai kebaikan bagi kemaslahatan hidup bersama. Mereka yang lebih suka berbicara dengan “kata kerja”, demi merealisasikan misi negara (yang juga diungkapkan dalam kata kerja): melindungi   segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan   melaksanakan ketertiban dunia.

Kenyataan bahwa peringatan kemerdekaan tahun ini seperti dihambarkan oleh pergelaran pertarungan kuasa yang tak tahu kapan   berhenti mengindikasikan adanya ketercerabutan pilihan-pilihan elitis dari realitas aspirasi dan jatidiri bangsa. Politik yang sejatinya merupakan seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum bergeser menjadi seni meraih kekuasaan dengan memanipulasi rakyat yang dapat mengorbankan impian-impian bersama.

Peringatan kemerdekaan harus menjadi wahana untuk menguatkan   kembali komitmen kebangsaan. Segala pertengkaran harus menemukan  jalan kembali ke semangat rela berjuang, semangat persatuan, dan   semangat membangun negara demi meraih cita-cita proklamasi: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dipetik dari harian Kompas (16/8/2016)

 

(Yudi Latif)