Jakarta, Aktual.com – Musim semi tiba, rerumputan pun tumbuh sendiri; kedatangan pemimpin alamiah sejati menginspirasi kesukarelaan untuk bertindak.” Demikianlah Lao Tzu memberi iktibar.

Setelah sekian lama jagat politik Indonesia mengalami musim kemarau harapan, kering rerumputan menanti kemunculan pemimpin (relatif) otentik yang dapat mengembalikan kesuburan akar rumput.

Dengan tumbuhnya harapan, gerak kesukarelaan bangkit tanpa menunggu komando dan janji imbalan. Simpul-simpul relawan  bergerak-serempak, mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian. Indonesia pun disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif, energetik, dan kreatif.

Betapapun kontestasi kepemimpinan berlangsung sengit, politik harapan mendamba kekuatan kesukarelaan dan kreativitas memiliki daya kendali tersendiri untuk tidak memasuki medan pertarungan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kesukarelaan dan kreativitas itu sendiri. Maka, dengan segala ketegangannya, ajang pemilihan harus berlangsung aman dan damai.

Dengan rasa solidaritas kebangsaan, akar rumput tidak akan dibakar api permusuhan. Potensi kekerasan masih mungkin melalui mobilisasi ”laskar-laskar” kekerasan. Jika itu yang menjadi pilihan, aparatur keamanan negaralah yang paling bertanggung jawab untuk mengatasinya. Pada titik ini, ujian sejarah sedang dihadapi oleh jajaran TNI dan polisi, apakah mereka akan lulus sebagai pahlawan pengawal konstitusi dan keselamatan bangsa atau tercoreng sebagai pengkhianat yang mengorbankan masa depan bangsanya.

Siapa pun yang terpilih sebagai pemimpin nanti, yang dipertaruhkan bukanlah gengsi personal dan golongan, melainkan nasib seluruh rakyat Indonesia. Para kandidat pemimpin harus bersifat kesatria; yang menang tidak mentang-mentang, yang kalah tidak marah-marah. Kemenangan sejati mestinya kemenangan seluruh rakyat, yang bisa diraih manakala pemimpin terpilih sanggup mengubah politik kecemasan menjadi politik harapan bagi seluruh rakyat.

Untuk mengubah kecemasan menjadi harapan, pemimpin terpilih harus sungguh-sungguh menjamin kebebasan sipil dan perbedaan dengan merealisasikan negara kekeluargaan yang dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Pemimpin terpilih juga harus sungguh-sungguh berusaha menciutkan kesenjangan sosial dan mengembangkan keadilan sosial dengan merealisasikan negara kesejahteraan.

Dalam mengarungi jalan terjal politik harapan itu, sikap optimistis harus terus dipelihara. Orang boleh kecewa terhadap pelaksanaan demokrasi, tetapi mesti bersabar untuk mempertahankan rezim demokratis. Berbeda dengan ledakan harapan, pemerintahan demokratis baru sering dihadapkan dengan aneka masalah dan kekecewaan. Karena itu, betapapun legitimasi kinerja memainkan peranan penting bagi kelangsungan pemerintahan demokratis, yang lebih menentukan bukanlah kesanggupan mereka dalam menuntaskan masalah-masalah itu, melainkan cara pemimpin politik itu menanggapi ketidakmampuannya.

Suatu pemerintahan demokratis bisa bertahan jika mampu menggalang kerja sama lintas batas, bukan menyulut pertikaian, sambil mengupayakan secara bersama cara mengatasi permasalahan secara institusional.

Para pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang dapat mendorong partisipasi dan tanggung jawab warga untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka