Bicara soal Narco Politics, mari kita telisik tumpukan berita lama. Pada 1997 lalu, data Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dilansir melalui United Nations Office Drug and Crime Prevention, memperkirakan nilai penjualan industri narkoba dunia mencapai 400 milyar dolar AS atau menurut kurs rupiah kala itu, sekitar Rp 4000 triliun.

Data pada 1997 ini saja sudah cukup mengejutkan. Berarti dengan omzet sebesar itu mesin ekonomi Narkoba atau Narco Economic pratis telah menandingi pertunmbuhan bisnis industri minyak dunia.

Jadi kalau 20 tahun yang lalu saja sudah sedemikian mencengangkan, bisa dibayangkan betapa gawatnya mesin ekonomi Narkoba saat ini. Berarti dunia tidak saja dikuasai oleh para industrialis minyak baik dari AS dan Uni Eropa, maupun negara-negara petrodolar, melainkan juga di tangan kartel Narkoba.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Sekadar gambaran pada 2003 lalu, di kota kecil seperti Depok, nilai transaksi Narkoba dua kali lipat dari APBD kota itu. Mengutup data dari LSM Gerakan Anti-Narkoba (Granat), berdasarkan rekap dari kantor kepolisian setempat, nilai transaksinya mencapai Rp 789 milyar per tahun.

Masih merujuk pada Granat, untuk skala nasional transaksi harian mencapai Rp 800 milyar. Ini data tahun 2007 lho. Bisa dibayangkan capaiannya sekarang.

Sekadar gambaran pada lingkup kecil misalnya, sebuah pabrik ekstasi di Tengerang yang berhasil digrebek pada 2002 lalu, produksinya mencapai 150 ribu butir per hari.

Singkat cerita, kalau gembong Narkoba meraup untung antara Rp 28 sampai Rp 29 triliun per tahun, tanpa potongan pajak, bisa dibayangkan betapa besar pengaruhnya orang-orang model begini kalau merambah ke dunia politik.

Apalagi ketika pemiu tingkat nasional maupun daerah begitu besar pengaruh uang dalam menentukan hasil pemilu. Dan Gembong Narkoba, butuh perlindungan sekaligus pengaruh kekuasaan. Bukankah Narco Economic kemudian menjelma menjadi Narco Politics?

Transformasi dari Narco Economic ke Narco Politics ini diperkuat oleh pakar sejarah Alfred McCoy dalam bukunya The Politics of Heroine in Souteast Asia. Menggambarkan kasus di Filipina, setahun menjelang Pemilu 2004, Presiden Filipina Gloria Macapagal Aroyo, secara gencar memberantas sindikat Narkoba, untuk mencegah peran Narco Politics dalam pemilu.

Fakta yang terungkap kala itu, mantan Presiden Josep Estrada beserta kroninya dituduh menghimpun dana dari organisasi kriminal sebesar 730 juta dolar AS yang diparkir di berbagai bank di luar negeri.

Bayangkan, jika money politics kepada setiap pemilih ditukar dengan dosis minimum sebesar 50 miligram dibagikan kepada setiap pemilih saat menjelang pemilu. Bukankah kemudian akan lahir suara terbanyak yang berasal dari Partai Narkoba?

Sungguh sebuah ancaman nasional yang tidak bisa dipandang enteng.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.