Bhima Yudhistira Adhinegara

Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) berencana ingin menurunkan batas Penghasilan Tak Kena Pajak (PTKP) yang saat ini sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun.

Langkah pemerintah ini dinilai sebagai bentuk kepanikan SMI karena sejauh ini dirinya menemui kesulitan untuk menambah sumber pendapatan negara yang terus defisit. Tetapi sayangnya, kebijakan ini menuai protes sejumlah pihak karena dianggap merugikan masyarakat, terutama yang  berpenghasilan rendah (MBR).

Menurut ekonom Institute of Development for Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, kebijakan pemerintah yang akan menurunkan PTKP sangat tidak pas. Bahkan terkesan ngawur karena daya masyarakat masih anjlok.

“Untuk saat ini, momentum penurunan PTKP dirasa sangat belum tepat. Saya kira soal PTKP ini jalan tengahnya justru harus dinaikkan,” ujar Bhima kepada Aktual.com, di Jakarta, Sabtu (22/7).

Memang, kata dia, kalau pemerintah menaikkan PTKP, pajak penghasilan pribadi bisa saja ada risiko menurun. Tapi ke depannya bisa berdampak positif.

“Karena dengan multiplier effect tersebut, justru ke penerimaan pajak lainnya justru meningkat. Sektor-sektor lain akan meningkat seiring bertumbuhnya daya beli masyarakat itu,” tegasnya.

Pasalnya, kata Bhima, sebagian pendapatan masyarakat yang sebelumnya untuk membayar pajak justru bisa digunakan untuk menggenjot konsumsi.

“Itu opsi terbaik untuk mendongkrak daya beli masyarakat yaitu dengan meningkatkan PTKP. Jangan malah menurunkan,” kritik Bhima.

Bahkan, kata Bhima, saat yang tepat untuk menurunkan PTKP itu bisa dilakukan ketika kondisi daya beli masyarakat stabil dan perekonomian Indonesia justru bisa bertumbuh di atas 6 persen. Sementara saat ini hanya berkutat di angka 5 persenan.

“Jadi pemerintah harus kreatif, karena ada solusi lain dibandingkan mengejar wajib pajak kecil,” ujar dia.

Sebelumnya, SMI mengakui jika akan mengkaji lebih lanjut soal kebijakan pajak, khususnya terkait dengan kenaikan batas PTKP yang disebutnya paling tinggi di Asia Tenggara.

“Kalau kita bandingkan negara ASEAN, PTKP kita paling tinggi, walaupun income per kapita kita relatif lebih rendah dari Thailand, Vietnam, Malaysia bahkan dengan Singapura sekalipun, Indonesia menerapkan PTKP yang tinggi,” tegas SMI.

Klaim SMI, kebijakan tersebut berkaitan dengan rasio pajak. Saat pemerintah menaikkan PTKP sebanyak dua kali dalam waktu yang berdekatan, basis pajak di Indonesia malah terus menurun.

“Akhirnya mengganggu realisasi penerimaan. Karena kita ingin tax ratio comparable dengan negara lain, kita harus lihat kenapa Indonesia berbeda. Kalau policy mengenai PTKP, dengan income per kapita yang kita miliki dengan negara lain, apakah bisa dilihat sebagi salah satu yang menjelaskan basis pajak kita berbeda,” papar dia.

SMI berdalih, jika PTKP makin tinggi, maka basis pajak makin sedikit. Dan Pemerintah Indonesia sudah menaikkan dua kali PTKP. Bahkan bentuk kekalapan Sri Mulyani itu akan segera meminta Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk menelusuri kebijakan PTKP saat ini.

 

Pewarta : Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs