Yogyakarta, Aktual.com — Berbagai spekulasi muncul terkait digugatnya UU Keistimewaan DIY oleh seorang advokat asal Jawa Timur bernama M Sholeh, yang berkeberatan atas sepuluh pasal UUK dimana menyatakan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY haruslah oleh Sultan serta Pakualam yang bertahta.

“Kita tunggu apakah materi gugatannya hanya berhenti di tata cara pengisian jabatan Gubernur/Wagub saja, atau ada agenda politik lain?” ujar Kus Sri Antoro, Peneliti dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris kepada Aktual.com, Senin (6/6).

Kus mencermati, jika uji materiil yang dilayangkan hanya diarahkan pada dibukanya kesempatan setiap warga negara agar berhak mengajukan diri menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, hal itu masih dalam tahap kewajaran, sebab Pasal 28 (d) ayat 3 UUD 45 menjamin hal tersebut, bahwa setiap warga negara (pria/wanita) berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Akan tetapi, jika kemudian penggugat secara khusus mempersoalkan perspektif gender atas jabatan seorang Gubernur atau Wakil Gubernur DIY, maka uji materiil yang dilayangkan kemungkinan memiliki agenda politik tertentu.

“Nuansanya akan politis sekali jika materi tentang jenis kelamin dipersoalkan,” ungkap Kus.

Seperti diketahui, medio Mei 2015 terjadi drama politik di Keraton Yogyakarta. Meski ditentang sejumlah internal keluarga, Sultan HB X mengganti gelar putri sulungnya dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, dimana menurut tradisi, Mangkubumi merupakan gelar yang disematkan kepada calon raja.

Kekhawatiran pun merebak, beberapa pihak keluarga beranggapan kuasa aset-aset keraton bakal beralih ke garis keturunan GKR Pembayun. Namun, keinginan Sultan HB X itu terbentur UU Keistimewaan yang didasarkan pada Paugeran (hukum internal keraton). Paugeran mengatur Kesultanan Yogyakarta harus dipimpin seorang laki-laki.

Oleh karena itu, Kus menilai, judicial review yang dilayangkan M Sholeh di lain sisi juga dapat membuka peluang GKR Pembayun menjadi pemimpin di Yogyakarta. Sebab posisi Gubernur atau Wakil Gubernur DIY dituntut tidak harus oleh Sultan yang bertahta.

“Selama feodalisme Keraton masih dipertahankan sebenarnya sama saja, misal bahasa hukumnya bebas setiap warga negara bisa tapi kesempatan untuk keluarga keraton tetap ada, ya sama aja bohong,” ujar Kus.

Mahkamah Konstutusi, seperti dilansir Okezone, tidak hanya menerima gugatan UUK DIY yang dilayangkan M Sholeh, tapi juga dari Abdi Dalem Keraton sendiri yakni Raden Wedana Widyo Suryo Satrianto alias Raden Mas Adwin Suryo Satrianto, yang menguasakan proses gugatannya kepada Dr Andi Irman Putra Sidin, yang juga dikenal sebagai pakar hukum tata negara.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Nelson Nafis
Editor: Nebby