Dunia perfilman Indonesia mengenal satu nama, warga pribumi yang juga dikenal luas secara internasional, sebagai pelopor perfilman di Tanah Air. Dia adalah Usmar Ismail. Lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, pada 20 Maret 1921, Usmar adalah mantan tentara Republik pada masa penjajahan Belanda yang lalu berkecimpung di dunia sinema.

Usmar menjadi sutradara film, penulis skenario, dan produser, serta mendirikan Perfini, studio film pertama di Indonesia, pada awal 1950-an. Ia dikenal luas secara internasional setelah menyutradarai film berjudul Pedjuang pada 1961, yang mendokumentasikan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Film ini ditayangkan dalam Festival Film Internasional Moskwa ke-2, dan menjadi film karya anak negeri pertama yang diputar dalam festival film internasional.

Usmar menamatkan pendidikan dasarnya di HIS Batusangkar, Sumatera Barat. Lalu, anak bungsu dari enam bersaudara ini melanjutkan belajar ke MULO-B (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang tahun 1935-1939. Di sinilah Usmar mulai berkenalan dengan film dan menjadi pecandu film-film yang diputar di bioskop Pondok, Padang.

Alumnus MULO 1941 ini lalu meneruskan sekolahnya ke Yogyakarta. Ia masuk AMS-A II (Algemene Middelbare School) bagian A jurusan Klasik Barat. Pada 1953 Usmar mendapat beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angeles (UCLA) dan mendapat gelar Bachelor of Arts. Setelah pulang ke Tanah Air, kariernya di bidang film makin menanjak.

Pada masa pendudukan Jepang, Usmar pernah mendirikan sandiwara amatir “Maya” pada 1944 bersama kakaknya Dr. Abu Hanifah dan sahabatnya Rosihan Anwar. Kelompok ini secara teratur mementaskan lakon di Gedung Komidi (sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Kelak kelompok ini menjadi cikal bakal teater modern di Indonesia.
Pernah Ditangkap Belanda

Tahun 1948, ketika ke Jakarta sebagai wartawan politik Kantor Berita Antara, Usmar ditawan Belanda dengan tuduhan melakukan subversi. Setelah bebas, Usmar dibawa Andjar Asmara –yang telah mengenalnya sebelumnya sebagai orang sandiwara– untuk membantunya menyutradarai “Gadis Desa” (1949).

Setelah film itu dia langsung dipercayai menyutradarai “Harta Karun” yang diangkatnya dari karya Moliere, lalu “Tjitra.” Skenario Tjitra ini lalu dibukukan dan dilengkapinya dengan “Pengantar ke Dunia Film,” sebuah pengantar apresiatif pembuatan film.

Menyadari film-film yang berciri Indonesia akan lahir hanya dari orang yang menghayati keindonesiaannya, Usmar dengan beberapa kawannya membangun sebuah perusahaan, yakni Perfini di awal 1950. Selesainya film pertama Perfini, “Darah dan Doa” (1950), dianggap kritisi film sebagai kelahiran film nasional Indonesia pertama. Bersama dua film berikutnya “Enam Djam di Jogja” (1950) dan “Dosa Tak Berampun” (1951), semua itu dinilai sebagai karya yang sepenuhnya memiliki ciri-ciri keindonesiaan.

Pada masa revolusi, Usmar menjadi tentara dengan pangkat Mayor. Tugas domisilinya di pusat pemerintahan RI, Yogyakarta. Di situ dia memimpin harian Patriot dan majalah Arena, sebagai gelanggang bagi seniman muda. Ia juga mengetuai Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara, dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Saat itu, sudah mulai jelas perhatiannya pada film. Dengan para seniman mantan anggota Maya, Usmar menyelenggarakan diskusi-diskusi mengenai film.

Film – film yang disutradarainya antara lain: Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955), Tiga Dara (1956), yang mendapat sambutan besar di kalangan penonton. Bahkan Tamu Agung mendapat penghargaan sebagai film komedi terbaik dari Festival Film Asia. Sedangkan Lewat Djam Malam mendapat perhargaan sebagai film terbaik FPA pertama tahun 1955, dengan Usmar sebagai produsernya.
Lewat Djam Malam

Usmar dipandang telah meletakkan dasar yang kuat bagi kelahiran dan perkembangan perfilman Indonesia. Film karyanya, Lewat Djam Malam (1954), adalah maha karya dari Usmar Ismail. Film itu bercerita tentang Iskandar, mantan pejuang yang turun gunung kira-kira awal 1950 ke kota Bandung. Dia menemui kekasihnya Nourma dan diminta mencari pekerjaan oleh mertuanya.

Pada masa itu memasyarakatkan kembali bekas pejuang adalah problem besar yang harus dihadapi. Bukan hanya satu atau dua orang, tetapi ribuan mantan pejuang. Ternyata Iskandar bukan hanya tidak bisa menyesuaikan diri dengan zaman, tetapi juga bertindak emosional dan gegabah. Terutama ketika ia tahu bahwa mantan komandannya menjadi kaya.

Di sini Usmar melontarkan kritik sosial yang tajam pada zaman itu. Orang yang lurus berjuang dan mematuhi perintah kerap terbuang. Namun ada mantan pejuang bisa menjadi kaya, punya mobil, dan rumah mewah. Kritik itu tampaknya masih relevan untuk saat sekarang, ketika menyoroti mantan aktivis 1966, bahkan 1998.

Tiga Dara (1956) adalah karya Usmar lain yang brilian. Film ini mengangkat kembali perfilman Indonesia, yang waktu itu nyaris terpuruk karena tergusur oleh film Amerika dan India. Drama musikal ini bercerita soal tiga dara yang diasuh nenek dan ayahnya, karena sang ibu meninggal. Karena ada amanat almarhumah ibu mereka, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung. Sayangnya calon suami itu kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara.

Pada 1950-an itu ada tekanan terhadap film-film nasional. Selain minat penonton yang kurang dan ada saingan berat dari film impor, pengusaha bioskop juga kurang berminat memberi kesempatan mempertunjukkannya.Untuk mengatasi kerugian karena hal itu, Usmar pun berkompromi dengan membuat film-film hiburan, di samping berusaha agar pemilik bioskop mau memutarnya. Begitulah lahirnya “Krisis” (1953) yang ketika di Metropole, bioskop terbaik waktu itu, sempat membuat penonton berjubel selama lima minggu.

Usmar yang juga dikenal sebagai “starmaker” (yang melahirkan Nurnaningsih, Indriati Iskak, dan sebagainya) pada 1962 menerima penghargaan Wijayakusuma dari Presiden Sukarno. Sayangnya, tokoh besar dan berbakat ini mati muda. Usmar meninggal dunia pada 2 Januari 1971 di Jakarta karena stroke, dalam usia 49 tahun.

Usmar meninggal dunia dalam akhir masa pembuatan “Ananda” (1970), film terakhir bagi Usmar, dan film debut bagi artis Lenny Marlina. Untuk menghargai jasa-jasa Usmar, sebuah ruang konser di Jakarta dinamai Usmar Ismail Hall, yang merupakan tempat pertunjukan opera, musik, dan teater.

Karya Usmar antara lain: Harta Karun (1949), Tjitra (1949), Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Kafedo (1953), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Lagi-Lagi Krisis (1955), Tamu Agung (1955), Tiga Dara (1956), Delapan Pendjuru Angin (1957), Asrama Dara (1958), Pedjuang (1960), Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961), Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962), Bajangan di Waktu Fadjar (1962), Holiday in Bali (1963), Anak-Anak Revolusi (1964), Liburan Seniman (1965), Ja, Mualim (1968), Big Village (1969), Ananda (1970). ***

Artikel ini ditulis oleh: