Ulah provokatif China menyelamatkan kapal nelayannya, yang mencuri ikan di perairan Indonesia, 19 Maret 2016 lalu, menimbulkan ketegangan baru dengan Indonesia. Tetapi kecil kemungkinan pecahnya konflik terbuka, karena akan terlalu mahal harga yang dipertaruhkan oleh kedua negara.

Sang naga yang sedang penuh rasa percaya diri sedang “mengepretkan” ekornya ke kanan-kiri. Kini “kepretan” itu sampai juga ke perairan Natuna, wilayah kedaulatan Indonesia yang berhadapan dengan Laut China Selatan. Mungkin inilah gambaran tentang perilaku China, yang sebagai super power baru secara ekstensif, agresif, bahkan provokatif, terus menegaskan keberadaannya.

Media Australia, News.com.au menyebutkan, insiden tersebut terjadi di wilayah Indonesia, atau tepatnya 4,34 km dari Pulau Natuna. Wilayah ini, sesuai ketentuan hukum laut internasional UNCLOS 1982, adalah bagian dari zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, yang terentang sejauh 200 mil dari garis pantai.

Sikap Indonesia jelas dan tegas. Dalam perspektif Kementerian Luar Negeri RI, yang disampaikan kepada pihak China, ada tiga jenis pelanggaran yang dilakukan kapal Coast Guard China. Pertama, kapal itu melanggar hak berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Kedua, kapal China itu berupaya menghalang-halangi proses penegakan hukum oleh otoritas Indonesia. Terakhir, kapal penjaga pantai China melanggar kedaulatan laut teritorial Indonesia.

Sedangkan pemerintah China berdalih, kapal nelayan China, KM Kway Fey, yang ditangkap tersebut masih di wilayah perairan China. China berkilah, lokasi kejadian tersebut merupakan tempat yang secara tradisional biasa didatangi para nelayan China dan itu bukan perairan Indonesia.

Hal itu dikatakan Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying di Beijing, Senin (21 Maret 2016). Bahkan pihak China bersikeras, keberadaan kapal Coast Guard mereka bertujuan menyelamatkan nelayan yang “diserang” pihak Indonesia.

“Kapal nelayan China diserang kapal bersenjata Indonesia. Kapal penjaga pantai lalu ke sana untuk menyelamatkan, tanpa memasuki perairan Indonesia,” kata Hua. Beijing juga mendesak pemerintah Indonesia untuk membebaskan dan menjamin keamanan seluruh nelayan China yang ditangkap.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menolak tegas dalih yang diajukan China. Menurut Susi, tidak ada kesepakatan internasional apapun yang mengakui atau mengenali apa yang diklaim oleh Pemerintah China sebagai “wilayah tradisional nelayan China.”

Perairan di bagian utara Kepulauan Natuna memang berdekatan dengan batas selatan klaim China atas sebagian besar Laut China Selatan, yang mereka rangkum dalam sembilan garis putus-putus (nine dash lines). Garis itu ditarik berdasarkan klaim sepihak China, yang merujuk sejarah jangkauan para pelaut dan nelayan kekaisaran China pada masa lampau, bukan berdasarkan hukum internasional yang disepakati. Berdasarkan “warisan sejarah,” China mengklaim 80 persen wilayah Laut China Selatan sebagai perairannya, meski klaim sepihak itu tidak diakui oleh hukum internasional manapun.

Ketegangan Indonesia dan China soal kapal nelayan sudah beberapa kali terjadi. Pada Maret 2013, sejumlah kapal China yang dilengkapi senjata mengonfrontasi kapal patroli perikanan Indonesia. Mereka menuntut, nelayan China yang ditangkap di perairan Kepulauan Natuna dibebaskan.

Pada 2010, kapal penegak hukum maritim China juga meminta kapal patroli Indonesia membebaskan kapal nelayan asal China, yang ditangkap karena diduga mencuri ikan. Pada 22 November 2015, kapal TNI AL dari Armada Barat mengusir kapal nelayan China yang masuk ke ZEE di sekitar Natuna.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memanggil Kuasa Usaha Sementara Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta, Sun Weide, dan mengajukan nota protes resmi.

Pada pertemuan Menlu RI dengan Menlu China Wang Yi, pada November 2015, di Kuala Lumpur, Malaysia, pihak China telah menegaskan bahwa Kepulauan Natuna dan perairan di sekitarnya adalah milik Indonesia dan hal itu sudah diakui China. Jadi tidak ada masalah terkait kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna. Tidak ada tumpang tindih klaim atas kepulauan itu.

Indonesia juga bukan negara pengklaim, dan tidak terlibat dalam sengketa wilayah dengan China di Laut China Selatan. Ini berbeda dengan negara ASEAN lain, seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam, yang mengklaim sebagian wilayah Laut China Selatan.

Menyikapi insiden terakhir, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, mengatakan, pemerintah RI harus segera mereorganisasi dan memperkuat kemampuan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Tujuannya, agar Bakamla sebagai lembaga penegak hukum, yang di-back-up oleh TNI AL, dapat melakukan tugasnya, seperti penegakan hukum, perlindungan, dan penyelamatan di laut.

“Negara harus segera melengkapi kapal-kapal patroli Bakamla demi kepentingan bangsa dan negara. Ini sebuah kebutuhan yang menjadi sangat mendesak untuk dilaksanakan,” ujar Hasanuddin.

Sedangkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 21 Maret 2016 menyatakan, Indonesia tidak akan serta merta mengerahkan kekuatan militer tambahan di Natuna. Meskipun dua hari sebelumnya, kapal penjaga pantai China masuk ke perairan Natuna serta menggagalkan penangkapan kapal pencuri ikan oleh petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Untuk apa? Kita tidak ada musuh, kok,” ujar Ryamizard.

Menurut Ryamizard, Kementerian Pertahanan telah memiliki rencana penambahan kekuatan TNI di Natuna. Ryamizard memberi contoh proyek perbaikan dan pelengkapan Pangkalan Udara Ranai, Natuna. Tujuannya, agar pesawat tempur andalan TNI jenis Sukhoi dan F-16 dapat mendarat di Natuna.

Secara hitung-hitungan, insiden ini tidak akan menimbulkan konflik terbuka atau bentrokan militer besar antara China dan Indonesia, karena keduanya punya kepentingan yang lebih besar, yang tak akan dikorbankan oleh keduanya.

Investasi China dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia –salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung– akan menjadi pertaruhan. Di sisi lain, potensi Indonesia sebagai mediator atau penengah konflik antara China dengan sejumlah negara ASEAN, terkait tumpang tindih klaim wilayah di Laut China Selatan, juga tak akan dikorbankan oleh China. ***

Artikel ini ditulis oleh: