Teknisi mengawasi pengoperasian instalasi produksi tekanan gas dari tempat penyimpanan gas alam terkompresi Compressed Natural Gas (CNG) untuk memasok kebutuhan gas di Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap, Muara Tawar, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (8/9). CNG Plant berkontribusi 5 -10 persen terhadap total daya listrik 2045 Megawatt yang dihasilkan PLTGU Muara Tawar. Pada 2016 kontribusi CNG Plant akan dinaikan menjadi 20 - 30 persen terhadap daya listrik yang dihasilkan PLTGU Muara Tawar. ANTARA FOTO/Reno Esnir/kye/15.

Jakarta, Aktual.com — Para pelaku industri berharap harga gas industri bisa turun mengikuti harga internasional yang berlaku sekarang, yaitu di kisaran USD3,7 per MMBTU. Alasannya, harga gas bumi domestik saat ini yang sebesar USD9 hingga USD10 per MMBTU dianggap tak kompetitif di antara negara-negara Asia Tenggara.

Pengamat sekaligus Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengimbau agar para pelaku industri dapat bersikap rasional dalam meminta penurunan harga gas industri. Pasalnya, tidak mudah bagi distributor gas untuk langsung menurunkan harga gas karena dapat mematikan sistem distribusinya.

“Silahkan saja industri minta penurunan harga gas bumi, namun penurunan harga itu juga perlu melihat harga yang sedang berlaku sekarang di hulu. Kalau industri minta harga gas turun lebih rendah dari harga di hulu, nanti sistem distribusi gas bisa mati semua,” kata Mamit di Jakarta, Minggi (4/10).

Ia mencontohkan, dua KKKS asing, ConocoPhilipis dan Pertamina EP yang menjual gas kepada PT Perusahaan Gas Negara (PGN) seharga USD6,5 per Million British Thermal Unit (MMBTU) ditambah komisi servis sebesar USD2 dan juga toll fee sebesar USD0,41 per MMBTU.

“Penetapan harga tersebut tak tercipta akibat mekanisme pasar semata, namun karena kontrak yang telah dibuat antara pihak penjual dan pembeli gas. Jika pihak-pihak tersebut ingin ada amandemen harga, maka hal itu harus dilakukan secara negosiasi, dan proses itu tak bisa secara mudah dilakukan. Industri juga perlu paham hal tersebut,” jelas dia.

Menyoal solusi harga tersebut, Mamit berpendapat bahwa memotong rantai distribusi gas bumi adalah hal yang paling mungkin dilakukan untuk mengurangi harga gas bumi bagi industri.

“Untungnya, kini pemerintah berencana untuk melakukan deregulasi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa, seperti tercantum di Paket Kebijakan Jilid I September lalu,” imbuhnya.

Pada dalam pasal 6 aturan itu, disebutkan bahwa kegiatan usaha gas bumi melalui pipa dapat dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapatkan izin niaga gas bumi melalui pipa. Peraturan tersebut, menjadikan akses pengusahaan makelar gas bumi oleh swasta juga semakin besar.

Mamit melanjutkan, adanya deregulasi peraturan tersebut bisa memangkas dua hingga tiga titik sistem distribusi gas bumi dari KKKS ke pengguna akhir, termasuk kalangan industri.

Sebagai informasi, jalur distribusi gas bumi melalui pipa dari KKKS harus melalui makelar, transporter transmisi, dan transporter distribusi sebelum sampai ke pengguna akhir. Bahkan tak menutup kemungkinan juga terdapat tambahan makelar-makelar gas bumi di sela-sela titik distribusi tersebut.

“Kalau pemerintah benar-benar menepati janjinya untuk melakukan deregulasi peraturan tersebut, maka dampaknya sangat luar biasa. Jika setiap makelar mengambil margin USD0,1 hingga USD0,5 per MMBTU, maka harga gas bumi yang bisa dibeli kalangan industri bisa turun sangat signifikan,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan