Persekutuan baru AS-Cina?

Pertemuan antara Trump dan Jinping di Florida minggu lalu, naga naganya akan menuju Perjanjian Shanghai Jilid II.

Dalam Perjanjian Shanghai I tahun 1972, dengan alasan mengepung Uni Soviet (baca: Rusia), AS dan Cina bergandengan tangan untuk bagi bagi daerah jajahan, dan mengorbankan aspirasi negara negara berkembang. Akankah ketidakseimbangan global ini akan kembali tercipta jika Perjanjian Shanghai Jilid II ini terjadi dalam kunjungan Trump ke Cina beberapa waktu mendatang?

Menyusul pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping minggu lalu, memang tidak ada suatu kesepakatan baru yang mengubah keadaan. namun justru sikap menahan diri Trump maupun Jinping, sepertinya mengisyaratkan adanya konsesi di bawah meja yang mengarah pada persektuan baru kedua negara adikuasa seperti Perjanjian Shanghai antara Presiden Richard Nixon dan Ketua Partai Komunis Cina Mao Zedong pada Februari 1972.

Frase kunci yang disampaikan Trump seiring berakhirnya pertemuan bilateral bersama Jinping adalah ” Ada kemajuan besar dari pertemuan kami” dan “Kami berdiskusi dan merasakan hubungan yang luarbiasa.” Biasanya frase seperti ini terucap untu mengisyaratkan adanya konsesi timbal-balik antara kedua negara yang terlibat perundingan. Ada hal yang secara tersurat tidak mungkin dirumuskan sebagai hasil kesepakatan, namun pada prakteknya yang tersirat atau yang tidak dirumuskan itulah yang jadi landasan baru kerjasama kedua negara.

Bagi Trump dan Jinping yang hakikinya sama sama menaruh minat pada bisnis dan perdagangan sebenarnya pragmatisme semacam itu bukan hal luar biasa. Namun dampak dari konsesi yang bersifat tersirat itulah yang kiranya harus diantisipasi oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sebab jangan-jangan, ke depannya negeri kita maupun mitra-mitra kita lainnya di ASEAN akan terkena dampak dari persekutuan baru AS-Cina seperti halnya kesepakatan Shanghai pada 1972.

Foto Jinping Trump buat tatap redaksi Senin 10 April

Kalau menelisik kesejarahannya, ambisi imperium Cina jauh melebihi dorongan ideologisnya untuk mengkomuniskan Cina. Buat Cina sejak 1950-an, kebangkitan dunia ketiga dan negeri-negeri sosialisme berbasis nasionalisme tidak dibantu secara tulus untuk melawan imperialisme dan kolonialisme negara-negara blok Amerika Serikat dan blok Eropa Bara seperti Inggris dan Perancis.

Dengan makna lain, bahkan ketika Cina masih menganut garis ideologi komunis garis keras sekalipun, negara-negara berkembang termasuk Indonesia dipandang sebagai sasaran hegemoni, ketimbang mitra strategis yang setara dalam rangka melawan imperialisme dan kolonialisme.

Maka itu dengan bangkitnya negara-negara baru yang merdeka di Asia, Afrika dan Amerika Latin, Cina tidak memandang hal ini sebagai potensi kemunculan kutub baru di luar orbit pengaruh dua kekuatan yang sedang bertarung di Perang Dingin antara AS versus Uni Soviet-Cina, melainkan memandang kekuatan ketiga kawasan di Dunia Ketiga itu sebagai sasaran untuk dijadikan negara-negara satelit Cina. Sehingga Cina dari awal menolak skema mengintegrasikan dirinya ke dalam persekutuan strategis yang bersifat setara dengan negara-negara berkembang.

Bahkan sewaktu masih menganut komunis ortodoks di bawah Mao Zedong, Cina menerapkan strategi mendorong sentimen anti imperialisme dunia ketiga agar kemudian Cina menjadi satu-satunya kiblat dan pusat daya tarik baru dari kekuatan-kekuatan revolusioner di tiga benua tersebut.

Melalui konsepsi “perang rakyat” yang dikembangkannya terhadapa partai-partai komunis di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, Cina mendapat pintu masuk untuk campur-tangan dalam urusan dalam negeri beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Namun strategi ini tidak terlalu berhasil untuk menjadi magnet bagi kekuatan-kekuatan revolusioner di ketiga benua untuk masuk ke orbit pengaruh Cina. Sebab watak ideologis kekuatan-kekuatan di negara-negara berkembang utamanya Indonesia, cenderung berhaluan nasionalis ketimbang komunis, dan lebih mengdepankan Gerakan Pembebassan Nasional sebagai landasan pergerakan dan agenda strategisnya.

Ketika strategis ini tidak efektif, Cina mengembangkan sebuah teori geopolitik yang dikembagnkan oleh Mao Zedong. Yaitu mengklasifikasihan Asia, Afrika dan Amerika Latin sebagao Zona Menengah atau Intermediate Zone. Gagasan dasarnya, Negara-negara Dunia Ketiga harus diletakkan dalam kerangka rencana strategis Cina untuk melawan hegemoni Uni Soviet, seraya mendekati Amerika Serikat dan negara-negara imperialis lainnya. Yang ini beraerti selain AS, juga bermaksud menjalin kerjasama dengan beberapa negara Eropa Barat.

Jadi pada tahap pertama, Cina merangkul negara-negara berkembang, dalam rangka untuk membangun suatu blok negara-negara baru di bawah Cina, yang diarahkan untuk melawan Soviet dan negara-negara sosialis yang cenderung mandiri dan non-blok. Di sinilah teori geopolitik Mao “Zona Menegah” kemudian dijadikan landasan untuk menggalang dukungan dari negara-negara menengah dan kecil ke dalam satu fron melawan Uni Soviet.

Prioritas baru Cina ini dengan jelas terbaca pada Kongres Partai Komunis Cina ke-10 pada 1973, yang mulai menunjukkan ketidakpeduliannya pada kepentingan Gerakan Pembebasan Nasional yang justru masih sangat hidup dan berkobar di negara-negara berkembang.

Dalam dokumen kongres ke-10 itu, yang semula menetapkan AS dan Soviet sebagai dua negara adikuasa yang harus dilawan, namu di kongres itu terjadi pergeseran tekanan. Yang jadi lawan utama adalah Sovit sehingga membesar-besarkan ancaman Soviet baik untuk keamanan dalam negeri Cina, maupun terhadap kawasan. Sementara dengan AS terdapat “perbaikan sedikit” dalam hubungan AS-Cina.

Dengan dasar keputusan pada kongres Partai Komunis Cina ke-10 itu, pemerintah Cina nampaknya sedang membangun landasan ke arah persekutuan baru dengan Amerika seperti yang kelak kita kenal dengan Kesepakatan Shanghai 1972.

Melalui surat kabar yang dikendalikan pemerintah Cina, Hungchi terbitan no 11 tahun 1972, ditegaskan bahwa kalau dulu AS merupakan musuh utama yang tidak bisa didamaikan sebagaimana garis kebijakan Mao sebelumnya, namun sekarang menjadi sekutu yang sudah dapat diterima.

Dari sini terlihat Cina dengan dalih adanya adanya ancaman Soviet sebagai musuh utama, pada perkembangannya telah dijadikan landasan untuk membuka dan membangun persekutuan baru dengan AS maupun beberapa negara blok Eropa Barat.

Ketika akhirnya Perjanjian Shanghai disepakati antara Nixon dan Mao, maka kemudian tercipta suatu keseimbangan kekuatan baru dalam konstalasi global. Disebabkan Cina sekarang merapat ke AS, maka Cina cenderung untuk mengesamping kekhawatirannya terhadapĀ  persekutuan strategis antara AS-Jepang di Asia Pasifik. Karena pertaruhannya untuk membangun hubungan baik dengan AS jauh lebih penting daripada mempersoalkan Jepang sebagai musuh bebuyutan Cina sejak berabad-abad silam hingga Perang Dunia II.

Bahkan Cina justru mengkhawatirkan jika AS ketinggalan jauh dalam perkembangan persenjataan nuklirnya dibandingkan Soviet. Kalau semata-mata ditelaah dari sudut pandang sebagai sesama negara komunis, pernyataan Cina tersebut memang betul-betul aneh. Namun ini justru menunjukkan bahwa watak imperialistik Cina untuk jadi kekuatan utama di Asia Pasfik lebih penting daripada misinya untuk mengkomuniskan dunia.

Alhasil, sejak kesepakatan Shanghai itu Cina malah mendukung semakin kuatnya beberapa pakta pertahanan yang dimotori AS dan Eropa Barat seperti NATO dan CENTO di kawasan Timur Tengah. Sebaliknya Cina semakin mengabaikan isu-su terkait Gerakan Pembebasan Nasional di negara-negara berkembang seperti yang diperjuangkan melalui forum KAA maupun KTT Nonblok. Negara-negara berkembang hanya digunakan Cina sebagai alat politik dalam rangka memperkuat posisi tawarnya terhadap AS dan negara-negara blok Barat.

Tapi untunglah negara-negara berkembang tidak mudah diperdaya, dan bahkan ketika kesepakatan Shanghai 1972 itu disepakati antara AS dan Cina, negara negara dunia ketiga yang tergabung dalam Gerakan Nonblok malah semakin disadarkan betapa munafiknya Cina.

Pada KTT Nonblok yang diadakan di Aljazair pada 1973, menolak gagasan ala Mao yang menempatkan AS dan Soviet sebagai raksasana yang harus sama-sama dimusuhi. Artinya, dalam kerangka kebijakan KTT Nonblok yang tetap anti imperialisme, satu-satunya musuh utama tetap Amerika Serikat, bukan Soviet.

Sejak kesepakatan Shanghai, dalam menyikapi masalah-masalah internasional besar yang menyangkut aspirasi negara-negara sedang berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin, Beijing mengambil sikap yang sama dan sehaluan dengan negara-negara imperialis, dan bertentangan dengan kepentingan-kepentingan Dunia Ketiga.

Akankah Perjanjian Shanghai II sedang dipersiapkan AS-Cina menyusul pertemuan Trump-Jinping di Florida minggu lalu? Jika skenario ini hakikinya sedang disiapkan, maka setidaknya akan ada korban-korban baru yang dirugikan akibat kesepakatan baru AS-Cina ini. Pertama tentu saja negara-negara berkembang yang selama ini sangat kuat ketergantungannya pada kedua negara adikuasai tersebut.

Kedua. seperti halnya pada Perjanjian Shanghai I pada 1972 yang secara tersirat ditujukan untuk mengepung dan melumpihkan gerakan Uni Soviet di pelbagai kawasan, maka bukan tidak mungkin dalam Perjanjian Shanghai II ini, Rusia akan kembali dikepung melalui kesepakatan baru AS-Cina.

Hendrajit