Foto udara salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Jakarta, Selasa (2/8). Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melakukan rapat terbatas mengenai reklamasi Teluk Jakarta yang diharapkan akan melahirkan keputusan formal terkait kelanjutan nasib proyek tersebut. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Pengacara Koalisi Tolak Reklamsi Tigor Hutapea mempertanyakan adanya pembangunan Rusunawa di Daan Mogot, yang menjadi bagian dari tambahan kontribusi PT Agung Podomoro Land, selaku pengembang dalam proyek reklamasi pantai utara Jakarta.

Menurut dia, seharusnya tambahan kontribusi yang telah diperoleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dilaporkan sebagai pemasukan daerah bukan pajak.

“Semua penerimaan yang ada di Jakarta yang diperoleh oleh Pemprov DKI diluar pajak itu harus dilaporkan ke pemerintah bagian pendapatan negara atau daerah,” kata Tigor kepada Aktual.com, Selasa (27/9).

Dengan demikian apakah Pemprov DKI telah melaporkan kontribusi tambahan dari pengembang ke negara. Atau jangan-jangan menurut Tigor itu hanya ‘proyek gelap’ yang tidak jelas peruntukannya.

“Sekarang pertanyaanya, apakah itu (kontribusi tambahan) sudah melalui proses yang seperti itu. Kalau tidak melalui proses seperti itu artinya ada suatu proses administrasi yang di langgar oleh Pemda dalam hal ini Pemorov DKI. Makanya harus di cek dulu (pembangunan Rusunawa) itu tercatat atau tidak, ” tambah dia

Sebelumnya, PT APL telah membayarkan sebagian tambahan kontribusinya kepada Pemprov DKI, dalam bentuk infrastruktur Rusunawa di Daan Mogot. Bukan hanya PT APL, setidaknya ada tiga pengembang reklamasi yang telah membayarkan tambahan kontribusinya.

Dalam persidangan lanjutan kasus suap pembahasan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP), dengan terdakwa bekas Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi,
mantan Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja mengaku telah mengelontorkan dana sebesar Rp 1,6 Triliun kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Menurut Ariesman, uang tersebut sebagai bagian tambahan kontribusi dari PT Muara Wisesa Samudera dan PT Jaladri Kartika Paksi. Kedua perusahaan itu adalah anak perusahaan PT Agung Podomoro Land yang dipimpin Ariesman.

“Tambahan kontribusi APL (Agung Podomoro Land) mencapai Rp 1,6 triliun. Itu di luar kewajiban dan kontribusi lima persen,” kata Ariesman di dhadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (26/9).

Ariesman mengaku tidak tahu detail landasan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok memaksa membayar tambahan kontibusi itu.

Dia pun tidak mengetahui apakah aturan tersebut telah disepakati dan dituangkan ke dalam berbagai izin yang telah dimiliki PT Muara dan PT Jaladri.

“Saya enggak ingat pastinya, karena izin ini adalah izin lama, saya tidak hafal pastinya. Tapi, saya pernah dengar dari pendahulu-pendahulu bahwa ada semacam setoran ke Pemda DKI,” ujar Ariesman.

Tambahan kontribusi pengembang reklamasi Pantai Utara Jakarta memang menjadi polemik dan sorotan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pertanyaan dasar lembaga antirasuah itu ialah dasar hukum yang digunakan Ahok untuk menerapkan pembayaran tambahan kontribusi itu.

Ketua KPK, Agus Rahardjo, pernah menyebut pihak Pemprov DKI seharusnya tidak seenaknya meminta para pengembang membayar tambahan kontribusi tanpa aturan hukum yang jelas.

“Kalau dirasakan pengembang menikmati untung terlalu besar dan kompensasinya perlu ditambah, dibuat dahulu Peraturan Daerah-nya. Lah ini kan Perda-nya belum ada, tambahan kompensasi sudah diminta masa?” kata Agus dimintai tanggapannya terkait diskreasi Gubernur Ahok, beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui, ada beberapa pengembang reklamasi Pantai Utara Jakarta yang sudah membayar kontribusi tambahan kepada Pemprov DKI. Namun, pembayaran ini bukan dengan uang tunai, melainkan infrastruktur.

Tambahan kontribusi yang mereka bayar yakni dengan pembangunan Rumah Susun di Daan Mogot. Selain itu, ada pengembang yang membayar tambahan kontribusi dengan menormalisasi waduk Pluit.(Fadlan Syam Butho)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid