Jakarta, Aktual.com — Pemerintahan Jokowi-JK menaikkan iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai 1 April 2016. Kenaikan itu dituangkan dalam Peraturan Presiden (perpres) nomor 19 Tahun 2016 Tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini merevisi Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2013, mengatur hal yang sama.

Salah satu poin dalam aturan baru ini adalah kenaikan iuran BPJS.

Dalam pasal 16 A ayat 1 dipaparkan kenaikan besaran iuran untuk mereka yang disubsidi (Penerima Bantuan Iuran/PBI) dari Rp19.225 menjadi Rp23 ribu per orang setiap bulan. Kenaikan ini sejatinya berlakunya sejak 1 Januari 2016.

Untuk Pekerja Penerima Upah (PPU) iuran BPJS sebesar 5 persen. Iuran ini ditanggung bersama dengan pemberi kerja 3 persen, dan potong gaji 2 persen.

Iuran buat peserta mandiri alias pekerja bukan penerima upah (PBPU) juga naik. Dalam pasal 16F ayat 1 dijabarkan; untuk ruang perawatan kelas III iuran jadi Rp30 ribu dari sebelumnya Rp25,5 ribu. Untuk kelas II iuran dari Rp42,5 menjadi Rp51 ribu. Sedangkan buat perawatan kelas 1 menjadi Rp80 ribu dari Rp59,5 ribu.

Kenaikan iuran ini akan berlaku 1 April 2016. Selain itu, denda keterlambatan juga naik dari 2 persen jadi 2,5 persen per bulan.

Lalu, seberapa pentingkah BPJS bagi rakyat?

Tim aktual.com mengkonfirmasi Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan. Kami menanyakan hal tersebut ke Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago, untuk mendapatkan kejelasan mengenai program dan manfaat BPJS bagi jaminan kesehatan masyarakat.

T: Apa sebenarnya BPJS itu?
J: Prinsip Pelayanan atau program BPJS adalah gotong-royong atau subsidi silang. Dimana kalangan yang mampu mensubsidi yang tidak mampu. Maka Disitulah rakyat Indonesia, salah satunya menterjemahkan Pancasila sila ke-2 dan ke-5.

T: Apakah BPJS ini bermanfaat bagi rakyat Indonesia?
J: Tentu sangat bermanfaat.

T: Kenapa?
J: Karena hanya dengan program inilah tahun 2016, kurang lebih 92 juta jiwa rakyat Indonesia dapat berobat gratis. Sebelum ada BPJS hanya pegawai negeri dan TNI dan Polri saja yang mendapat kan fasilitas berobat gratis melalui Askes.

T: Manfaat lain?
J: BPJS tidak memberikan atau mensyaratkan plafon biaya pengobatan, meski ada beberapa tindakan yang belum masuk dalam tanggungan atau klaim BPJS, baik untuk peserta mandiri maupun peserta PBI. Selain itu, tentu nilai ibadahnya juga dapat menjadi tambahan pahala bagi para peserta mandiri.

T: Lalu apa kerugian atau kekurangan program ini?
J: Kerugiannya tidak ada. Tapi kekurangannya ada.

T: Apa saja kekurangannya?
J: Pertama, Pelayanan RS belum maksimal Karena tarif SDGs-nya tidak mencukupi untuk mengcover secara berkeadilan bagi RS dan dokter. Biaya tindakan masih terlalu rendah sehingga tidak menutup biaya operasional. Kedua, akibat rendahnya tarif, pelayanan RS dan dokter tidak maksimal.

Lalu, regulasi terkait rujukan yang merumitkan peserta juga msh harus disempurnakan. Keempat, fasilitas faskes satu mulai dari infrastruktur, SDM, obat dan Alkes harus segera diperbaiki secara komprehensif.

Kelima, syarat kepesertaan harus disederhanakan dan kewajiban kepesertaan minimal untuk suami dan istri, tidak harus sekeluarga. Terakhir, masa berlaku kepesertaan setelah mendaftar maksimal 1 minggu.

T: Kenapa kenaikan ini dikritisi?
J: Karena pelayanan belum memuaskan.

T: Apa solusinya?
J: Naikan tarif PBI dan Perbaiki pelayanan atau maksimalkan service pada pasien.

T: Bagaimana caranya?
J: Jalankan komitmen pemerintah dengan benar. Pertama, pemerintah berkomitmen menganggarkan 5% dari APBN untuk kesehatan masyarakat, tahun ini ada sekitar Rp109 triliun. Andaikan pemerintah menyesuaikan tarif PBI dari Rp23.000 menjadi 30.000 per orang, maka untuk 92,4 juta jiwa penerima bantuan iuran tahun ini BPJS hanya butuh sekitar Rp33,26 triliun dari sekitar Rp109 triliun anggaran kesehatan (5% dari APBN).

Artinya, masih ada Rp66,74 triliun yang dapat digunakan oleh depkes untuk menjalankan seluruh program nusantara sehat. Terutama terkait dengan program promotive preventive dan revitalisasi faskes 1 maupun Rumah Sakit daerah, SDM, Alkes dan obat-obatan.

Kedua, jika tidak menggunakan APBN tentu ada jalan lain, misalnya mengembalikan 50% cukai rokok untuk kesehatan masyarakat. Tidak ada yang sulit sebenarnya jika pemerintah memang mempunyai kemauan secara tegas untuk kesehatan masyarakat.

Ketiga, BPJS, kemenkes dan Kemensos juga tidak boleh berpangku tangan dalam rangka meminimalkan biaya berobat. Melengkapi kebutuhan Alkes, SDM pada faskes satu dan Peningkatan kualitas obat.

Keempat, Kemensos juga harus melakukan update data yang benar terkait kartu ganda, penerima yang sudah meninggal dan yang sudah berubah status sosialnya. Sesuaikan data BPS tentang rakyat miskin yang dirilis BPS tahun 2015 yang hanya 28 persen tetapi penerima PBI kurang lebih 38 persen.

Kelima, Kementerian Kesehatan harus meningkatkan program promotive preventive, agar orang sehat lebih banyak dari orang sakit. Sehingga dapat mengurangi tingginya biaya pengobatan melalui BPJS. Jika program nusantara sehat berhasil, pengeluaran BPJS dapat diminimalkan.

Keenam, BPJS harus jemput bola untuk meningkatkan kepesertaan Mandiri. Karena sampai hari ini masih terdapat 30 persen pekerja informal yang belum menjadi anggota BPJS, ada 40 persen kurang lebih total masyarakat yang belum menjadi peserta BPJS.

T: Sudah setujui DPR?
J: Terkait perpres yang menyetujui kenaikan tarif peserta Mandiri, Komisi IX belum diberitahu secara resmi, apalagi memberikan persetujuan. Untuk itu, Insya Allah dalam waktu dekat jika kami sudah menerima minimal salinan perpres, kami akan memanggil BPJS untuk meminta klarifikasi.

Selain itu, kami juga masih tetap meminta laporan distribusi Kartu PBI di tiap provinsi, kabupaten dan kecamatan diseluruh Indonesia. Ini untuk pertanggungjawaban pada publik atas persetujuan DPR (Komisi IX) pada anggaran PBI yang sudah kami setujui.

Artikel ini ditulis oleh: