Petani melakukan panen padi saat musim panen di Kecamatan Mangku Bumi, Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (3/9). Pada musim panen sekarang ini, para petani di Tasikmalaya mengeluhkan turunnya harga gabah kering dari sebelumnya Rp.490.000 per kuintal, menjadi Rp.390.000-Rp.400.000 per kuintal. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila) Prof Bustanul Arifin yang juga salah satu pengamat pangan mengatakan tantangan utama pangan nasional ke depan adalah gizi, dan tidak hanya aspek fisik atau penawaran dan permintaan (supply and demand).

“Ketahanan pangan bukan hanya urusan ‘supply dan demand’ tapi juga urusan gizi balita. Jangan memperhatikan fisik tapi juga kualitas. Harus dipaksa ada indikator baru dalam ketahanan pangan, tidak hanya berapa produksi beras tapi juga kualitas, ketersediaan proteinnya,” kata Bustanul di Gresik, Senin (17/10).

Bustanul yang menjadi salah satu narasumber seminar bertajuk “Menggagas Ketahanan Pangan Nasional dalam Era Globalisasi” yang digelar PT Petrokimia Gresik itu mengatakan akibat arus globalisasi yang terjadi saat ini telah banyak mengubah pola konsumsi pangan, dan hal itu terjadi pada balita.

Ia mengatakan, hal tersebut menjadi tantangan ke depan Indonesia yang masih terfokus pada hasil padi, jagung dan kedelai, dan tidak fokus pada kualitas dan status gizi yang menyebabkan masalah pada rantai nilai pangan.

Bustanul meminta agar fokus utama yang perlu ditekankan adalah adanya perubahan pola konsumsi, yang kini menyebabkan rendahnya kualitas dan status gizi balita, sebab berdasarkan survei di Tiongkok kebanyakan anak-anak saat ini banyak diberi makanan siap saji, termasuk juga makanan ringan (snack).

“Sedangkan pemenuhan konsumsi pangan lainnya terutama protein dan vitamin juga masih sangat rendah, hal itu terjadi di Indonesia dan lebih rendah dibandingkan pola konsumsi pulsa dan rokok,” tutur Bustanul yang juga Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia.

Dampaknya, kata Bustanul, saat ini jumlah balita yang kurang gizi di Indonesia masih 20 persen, sehingga ke depan bisa mengakibatkan pada daya saing bangsa.

Oleh karena itu, Bustanul meminta agar ada perubahan indikator dalam ketahanan pangan nasional dengan menyertakan nilai gizi, agar ke depan bangsa Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi.

Sementara Direktur Pemasaran Petrokimia Gresik Meinu Sadariyo yang membuka kegiatan seminar pangan itu mengatakan suatu gagasan baru memang perlu dirumuskan agar ketahanan pangan nasional bisa tercapai dengan baik.

Ia mengatakan, Petrokimia Gresik selaku salah satu BUMN juga harus bisa menyesuaikan diri dengan pola perubahan yang terjadi, sebab ketahanan pangan merupakan isu strategis di era globalisasi.

“Suatu gagasan memang perlu dirumuskan agar ketahanan pangan bisa tercapai dengan baik. Dan kami sebagai perusahaan negara memiliki peran penting dalam mewujudkan ketahanan pangan tersebut, oleh karena itu kami menggelar seminar untuk menyambut Hari Pangan Dunia ini,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Eka