Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Dalam khutbah di Masjid Al Asyraf Muqattam Kairo, Mesir, Syekh Yusri mengatakan bahwasannya kita harus berbangga dan dan merasa mulia menjadi umat Nabi Muhammad SAW, bagaimana tidak? Karena kemulian dan kebanggaan telah Allah SWT anugerahkan kepada beliau SAW dan kita semua mengharapkan limpahan kemuliaan dari Allah SWT melalui keberkahan Rasulullah SAW.

Allah SWT Berfirman :

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan kekuatan itu hanyalah milik Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin”[QS:Al Munafiqun/63 ayat 8]

Begitulah tartib/urutannya, kaum mukminin mendapatkan kemuliaan setelah Allah SWT menganugerahkannya kepada Nabi SAW, seandainya tidak ada Rasulullah SAW maka tidak akan pernah ada kemuliaan di bumi ini. Karenanya Nabi Muhammad SAW terlahir ke bumi bersamaan dengan lahirnya kemuliaan, keagungan, petunjuk, cinta dan budi pekerti yang luhur.

Nasab Beliau SAW keturunan dari ‘Adnan yang pernah hidup di jazirah arab pada zaman diutusnya Nabi Isa AS sekitar 500 tahun sebelum Rasulullah SAW lahir, sedangkan ‘Adnan merupakan keturunan dari Nabi Ismail AS, adapun kurun waktu antara ‘Adnan dan Nabi Ismail AS kurang lebih 2000 tahun.

Nabi Muhammad SAW adalah yang memiliki sebaik-baik garis keturunan, tidak ada satu pun dari leluhur /nenek moyang beliau SAW yang melakukan kemusyrikan dan terpengaruh oleh budaya jahiliyah dari mulai Adam AS sampai ibu bapaknya Nabi SAW. Beliau SAW bersabda:

وَمَا افْتَرَقَ النَّاسُ فِرْقَتَيْنِ إِلاَّ جَعَلَنِي اللّٰهُ فِيْ خَيْرِ هِمَا فأَخْرَجْتُ مِنْ بَيْنِ أَبَوَيْ ، فَلَمْ يُصِبْنِي شَيْئٌ مِنْ عهد الْجَاهِلِيَّةِ
وَخَرَجْتُ مِنْ نِكَاحٍ وَلَمْ أَخْرُجْ مِنْ سِفَاحٍ مِنْ لَدُنْ آدَمَ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى أَبِيْ وَأُمِّيْ ، فَأَنَا خَيْرُكُمْ نَسَبًا وَخَيْرُكُمْ أَبًا

“Tidaklah manusia bercerai berai menjadi dua kelompok melainkan Allah SWT menempatkanku di kelompok yang mulia, aku terlahir diantara kedua orangtuaku, aku tidak pernah tersentuh oleh kekelaman masa jahiliyah, aku terlahir dari pernikahan bukan dari perzinaan sejak Nabi Adam hingga sampai pada ayah dan ibuku, karena itu aku adalah yang terbaik nasab keturunannya dan terlahir dari ayah yang terbaik diantara kalian.”[HR:Imam Al Baihaqi]

Khairiyah/ kemuliaan suatu kelompok yang dimaksudkan dalam hadist tersebut bukan sekedar kelompok yang terkenal dengan ketampanan, kegagahan, kekayaan dan garis keturunan yang disegani saja, namun khairiyah/kemuliaan golongan tersebut adalah kelompok yang identik dengan sifat-sifat ketakwaan. Sesuai firman-Nya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”[QS:Al Hujurat/49 ayat 13]

Hadist tersebut menyatakan bahwa keimanan dan ketaqwaan selalu melekat pada jatidiri leluhurnya sejak Adam AS sampai ayah bundanya Rasulullah SAW. Allah SWT Berfirman:

(219)الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ (218) وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

“Dialah Allah Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat dan menjaga pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud”[QS:Asy-Syuara/26 ayat 218-219]

Sahabat Abdullah Ibnu Abbas RA menafsirkan bahwa ayat tersebut menegaskan bahwa Allah SWT menjaga setiap tulang rusuk dan rahim yang mana padanya ruh Nabi SAW dititipkan dari mulai Nabi Adam AS sampai kedua ibunda Aminah melahirkannya.

Hal tersebut menunjukan bahwa leluhur Nabi SAW dari mulai kedua orang tuanya sampai Adam AS adalah orang-orang yang suci bersih dan menjadi ahli surga.

Sungguh ironis dengan orang-orang yang mengaku ahli ilmu namun jauh dari pengetahuan sebenarnya, mereka mengakui umat Nabi SAW namun tidak menampakan kecintaannya atas Nabi SAW, dengan mudah mereka berkata bahwa “ibu dan bapak Nabi Muhammad SAW di neraka”, sungguh pendapat yang aneh dan bertentangan dengan keterangan Al Quran dan Al Hadist, padahal Allah SWT Berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”[QS:Al Isra/17 ayat 15]

Dan Berfirman:

لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أُنذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ

“Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai”[QS:Yasin/36 ayat 6]

kedua orang tua Nabi SAW tidak pernah mendapatkan kewajiban syariat dari seorang Rasul pun, sehingga mustahil mereka berdua mendapatkan penyiksaan di neraka.

Mereka berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi SAW berada di neraka berdasarkan sebuah hadist ahad yang perlu untuk ditakwil karena bertentangan dengan berbagai keterangan hadits mutawatir dan nash Al Quran.

Mereka yang berpendapat demikian sungguh sangat bodoh dan bermaksud menyakiti hadirat Nabi SAW meskipun mereka menonjolkan diri sebagai umat Nabi Muhammad SAW, dan mereka sungguh memerankan cara umat yahudi yang lihai dalam mengganggu dan menyakiti Nabi mereka sendiri, sebagaimana firman Allah SWT dalam hikayat Nabi Musa AS:

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ لِمَ تُؤْذُونَنِي وَقَد تَّعْلَمُونَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku? sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu” [QS: As-Saf/61 ayat 5]

Memang seorang a’raby pernah bertanya kepada Rasulullah SAW seraya berkata : “dimanakah ayahku wahai Rasulullah?” lalu beliau SAW menjawab:
فَقَالَ : إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ . م

Beliau SAW menjawab:” sesungguhnya bapakmu dan bapaku ada di neraka”

Padahal maksud bapaku dalam hadist tersebut adalah pamannya yaitu Abu Lahab.

Begitupula dengan hadist:

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي ، وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي)

“Nabi SAW bersabda: “aku meminta izin kepada Allah untuk beristighfar bagi ibuku namun tidak diizinkan, dan aku meminta izin menziarahi makamnya dan Allah SWT mengizinkanku”

Hadist ini semata-mata karena Ibunda baginda Nabi SAW tidak membutuhkan istighfar dari siapapun karena ia tidak mempunyai dosa sama sekali bukan berarti ia adalah orang kafir yang tidak boleh dipintakan ampunan.

Begitupula dengan bapak Ibrahim AS yang menyembah berhala, Azar adalah pamannya bukan bapak kandungnya, karena ayah kandung Ibrahim AS sudah wafat disaat Ibrahim AS masih kecil.

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً

“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?”[QS:Al An’am/6 ayat 74]

Adalah kebiasaan orang arab yang yatim ketika diasuh oleh pamannya maka paman yang mengasuh tersebut biasa dipanggil oleh anak asuhnya sebagai bapak.[Deden Sajidin]

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid