Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani dalam acara pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam karangan syekh Abdullah Siddiq al-Ghumari di Majelis Zawiyah Arraudah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017). AKTUAL/Tino Oktaviano
Maulana Syekh Yusri Rusydi Jabr Al Hasani dalam acara pembacaan kitab amin al-I'lam bi anna attasawwuf min syariat al-islam karangan syekh Abdullah Siddiq al-Ghumari di Majelis Zawiyah Arraudah, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017). AKTUAL/Tino Oktaviano

Kairo, Aktual.com – Syekh Yusri hafidzahullah menjelaskan tentang tanda-tanda sebuah amal ibadah itu diterima Allah Ta’ala, adalah amal itu dilakukan oleh seorang yang tidak melihat dalam dirinya sebuah kekuatan ataupun daya dalam melakukan ibadah tersebut.

Hendaklah seorang mukmin itu tidak hanya memperhatikan syarat sahnya sebuah ibadah saja, akan tetapi dirinya juga harus memperhatikan syarat diterima ibadah itu sendiri di sisi Allah SWT. Jadi tikadlah setiap ibadah sah itu diterima oleh Allah, hal ini sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadits qudsinya

“ إِنَّمَا أَتَبَقَلُ الصَلَاةَ مِمَنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعَظَمَتِي “,

Artinya “ sesungguhnya Kami hanyalah menerima solatnya orang-orang yang merasa rendah dihadapan keagungan Ku ketika dalam solatnya itu “ (HR. Imam Bazzar ).

Sayyiduna Ali RA berkata “ hendaklah kamu memperhatikan tentang bagaimana ibadah kamu itu diterima oleh Allah Ta’ala, sebagaimana kamu memperhatikan sahnya ibadah itu sendiri “.

Karena sesungguhnya yang terpenting bagi seorang hamba itu ialah bagaimana amal ibadahnya diterima disisi Allah sehingga dia mendapatkan kedudukan yang mulia di sisi Nya. Inilah yang selalu dinasehatkan oleh para ahli tasawwuf didalam mentarbiyah para muridnya.

Imam Ghozali di dalam kitab Al Ihnyanya bahkan menjadikan kekhusyukan sebagai rukun shalat, dimana yang namanya rukun adalah sebuah bagian inti dari sebuah sesuatu, yang dimana sesuatu tersebut tidaklah sah tanpanya. Hal ini mengingat pentingnya kekhusyukan dalam solat, yang merupakan syarat qobulnya solat itu sendiri.

Seorang mukmin pada tahap awalnya adalah harus memperhatikan sahnya sebuah ibadah , yaitu dengan ilmu syari’at. Ilmu inilah yang dibahas oleh ulama fikih. Kemudian naik ke tahapan yang lebih tinggi dan tanpa meninggalkan tahapan awal, yaitu memperhatikan syarat dari diterimanya sebuah ibadah.

Hal ini dibahas oleh para ulama tasawwuf. Sebagaimana dicontohkan bahwa menurut ulama fikih, syarat dari sahnya puasa adalah niat dan menjauhi dari segala sesuatu yang membatalkannya selama waktu yang sudah ditentukannya, yaitu dari waktu subuh hingga adzan maghrib.

Itu artinya, jika seorang sudah melakukan puasa dengan kriteria di atas, berarti puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengulangi ataupun mengqhodonya lagi. Lantas bagaimana kalo dia tidak ikhlas dalam menjalankannya, atau dia mengisi waktu puasanya dengan ghibah, menggunjing, mencaci makai, ataupun hal-hal tidak terpuji lainya?. Maka hukumnya adalah tetap sah, akan tetapi tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana dalam hadis Nabi dijelaskan, beliau bersabda

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهٌ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الجُوْعُ وَاْلعَطَشُ

Artinya “ banyak sekali seorang yang berpuasa, akan tetapi tidaklah ada pahala baginya melainkan dahaga dan rasa lapar “(HR. Ibnu Majah).

Syekh Yusri hafidzahullah menambahkan, bahwa hendaklah kita beribadah kepada Allah adalah dengan Allah dan karena Allah bukan karena yang lainnya, tanpa melihat bagian dari hawa nafsunya, melepaskan diri dari daya dan kekuatannya. Dengan kembali kepada hakikat ” لَا حَوْلَ وَلَا قُوَةَإِلَا بِاللهِ “.

Senantiasa melihat kekurangan dalam keikhlasan kita, merasa ada kelalaian dalam dzikir kita, merasa ada kekurangan dalam kesungguhan kita, dan merasa kurangnya kesungguhan dalam usaha kita. Semua amal perbuatan kita tidak ada bisa dijadikan sandaran, sehingga kita semakin merasa fakir kepada Allah Ta’ala untuk menutup segala kekurangan didalam menuju wushul kepada Nya.

Ketika seorang hamba sudah sampai kepada maqam kefakiran kepada Tuhannya, maka Allah akan memberikan anugerah karunia kepadanya. Allah berfirman:

“ إِنَمَا الصَدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ “

Artinya “ sesungguhnya sodaqoh itu adalah hanya bagi orang-orang yang faqir ( kepada Allah Ta’ala ) …”(QS. At Taubah : 60 ).

Sesungguhnya seorang hamba hendaklah menjadikan kecukupan dan sandarannya hanya Allah Tuhannya saja, tidak karena amal ibadahnya. Karena sesungguhnya dia adalah “ عبد المعبود” yaitu hamba dari Dzat yang disembah, bukan عبد العبادة “, yaitu hamba dari pada ibadah itu sendiri. Allahu ‘Alam.
Laporan: Abdullah alYusriy

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid