Sutan Sjahrir (Foto: Istimewa)
Sutan Sjahrir (Foto: Istimewa)

Jakarta. Aktual.com – Untuk era digital di abad informasi seperti sekarang ini, sulit dibayangkan ada seorang pemuda berusia 36 tahun menjabat sebagai perdana menteri.

Tapi di Indonesia hal itu sudah pernah jadi kenyataan. Sutan Sjahrir, putra kelahiran Padang Panjang-Sumatera Barat, 5 Maret 1909, terpilih sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Praktis pria bertubuh kecil dengan tinggi badan hanya 1,47 meter itu, tiga kali menjabat Perdana Menteri.

Kabinet Sjahrir antara 1945-1947. Cukup singkat memang, namun harus diakui cukup spektakuler dan monumental, dengan segala kontroversi yang melekat pada sosok si “Bung Kecil” ini.

Hasril Chaniago, dalam bukunya bertajuk 101 Orang Minang di Pentas Sejarah menulis, bahwa Sjahrir dan Sukarno sebagai Presiden Pertama RI sebenarnya merupakan dua kutub yang berbeda namun saling membutuhkan. Tanpa Sjahrir, Sukarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyatakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Sjahrir tidak berdaya apa-apa. Sjahrir mengakui Sukarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Sukarno-lah pemersatu bangsa Indonesia.

Namun Hasril Chaniago merumuskan sebuah gambaran singkat yang menarik betapa antara Bung Karno dan Sjahrir sebenarnya saling membutuhkan dan saling menguatkan di fase-fase awal kemerdekaan Indonesia, khususnya di periode Revolusi Fisik 1945-1949.

Hasril Chaniago menulis: “Sukarno-lah pemersatu bangsa. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Sukarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu tak meluap dan justru merusak.”

Sebuah pandangan yang tidak terlalu meleset memang, karena jelas yang Hasril Chaniago maksudkan perlunya peran pembendung dan pengarah energi rakyat itu tiada lain adalah Sutan Sjahrir.

Masalahnya kemudian, melalui peran dan kiprah Sjahrir yang bagaimana untuk mengisi titik lemah dari gaya kepemimpinan Sukarno pada fase-fase awal Indonesia merdeka, ketika tantangan pokok yang dihadapi ketika itu adalah menghadapi kembalinya Belanda untuk menjajah Indonesia. Menyiusul kemenangan tentara sekutu terhadap pemerintahan fasisme  Jepang.

Jawabannya adalah, peran yang dimainkan Sjahrir sebagai diplomat pejuang. Agaknya, melihat watak asli Sjahrir yang sejatinya sangat humanis, memang pas untuk meyakinkan dunia internasional, sebagai negara yang baru merdeka, namun tidak terpengaruh oleh watak fasistik dan militeristik pemerintahan kolonial Jepang yang sempat bercokol di Indonesia antara 1942-1945.

Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Sjahrir yang hakikinya anti-kekerasan. Dia akhir Desember 1946, Perdana Menteri Sjahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA(tentara pendudukan Belanda). Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukulnya Sjahrir dengan gagang pistol. Berita ini kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar siaran itu, Sjahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan. Sebab, bila rakyat mendengarnya dan tahu pemimpin mereka dipukuli, bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang Republik.

Menyadari kemungkinan seperti itu, Sjahrir khawatir kejadian itu akan merusak citra Indonesia di mata dunia internasional yang mana dukungannya justru amat dibutuhkan bagi pengakuan eksistensi Indonesia sebagai negara baru merdeka yang berdaulat penuh sebagai negara-bangsa.

Hal itu memang sejalan dengan paham politik Sjahrir, bahwa terlepas dari pentingnya kesiap-siagaan Indonesia untuk melawan kembalinya Belanda melalui perjuangan bersenjata, namun memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi, justru menjadi prioritas utama pemerintahan Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, dan Kabinet Sjahrir III.

Melalui serangkaian tekanan diplomatik, Sjahrir berhasil membujuk Inggris yang kala itu datang ke Indonesia semata-mata untuk melucuti tentara Jepang yang ada di Indonesia, untuk mendesak Belanda agar duduk berunding dengan pemerintah Indonesia.

Sekadar informasi, ketika Inggris datang ke Indonesia untuk melucuti Jepang, Belanda ikut membonceng dari belakang, yang tentunya tujuannya berbeda dengan Inggris, yaitu ingin kembali menjajah Indonesia, setelah pada 1942 terpaksa bertekuk-lutut kepada Jepang, sehingga penjahahan di Indonesia beralih dari Belanda kepada Jepang.

Keberhasilan Sjahrir membujuk Inggris agar mendesak Belanda maju ke meja perundingan dengan pemerintah Indonesia, kiranya ini merupakan keberhasilan pertama Sjahir sebagai seorang diplomat pejuang. Yaitu berhasil memaksakan terciptanya suatu kondisi obyektif bahwa secara de fakto Sekutu mengakui eksistensi dan kedaulatan pemerintah RI sebagai negara merdeka.

Strategi diplomasi Sjahrir yang cukup jitu dan kalau orang zaman sekarang mengistilahkan out of the box terlihat ketika Sjahrir mencanangkan pengumpulan 500.000 ton beras untuk dikirim membantu rakyat India, yang ketika itu juga baru menjadi negara merdeka namun tiba-tiba mengalami bencana kelaparan.

Apa untungnya harus menyumbang beras kepada negara lain sementara di negeri sendiri rakyat Indonesia juga butuh beras? Pertimbangan Sjahrir, dengan aksi itu akan muncul pemberitaan bahwa Republik Indonesia, sebagai sebuah negara yang baru merdeka, telah mengirim bantuan untuk rakyat India yang sedang menderita kelaparan. Selain menaikkan citra dan simpati dunia, berita itu sekaligus juga menjadi pengakuan de fakto akan eksistensi RI di kalangan negara-negara internasional.

Sebaliknya, aksi-aksi militer Belanda yang brutal justru boomerang bagi mereka. Misalnya, agresi militer Belanda I pada 21 Juli 1947, justru mengantarkan Indonesia dikenal secara luas di dunia internasional, sebab gara-gara serangan militer Belanda itu, beberapa negara mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberi sanksi internasional kepada Belanda. Ketika PBB menggelar sidang khusus membahas soal dekolonisasi Indonesia, Sjahrir sudah tidak menjabat lagi sebagai perdana menteri. Namun bersama Haji Agus Salim, Sumitro Joyohadikusumo dan Sujatmoko, hadir di markas PBB di Lake Success, New York, sebagai perwakilan Indonesia di PBB, untuk memperjuangkan dukungan internasional, yang sudah dirintis melalui penggalangan dukungan dari India dan Mesir.

Meskipun saat PBB bersidang membahas kemerdekaan Indonesia dan aksi sepihak Belanda terhadap pemerintah Indonesia yang berdaulat, Sjahrir sudah tidak lagi jadi perdana menteri, namun sosoknya sebagai diplomat pejuang, kiranya patut dikenang dan diteladani oleh generasi muda kita sekarang, khususnya yang berkiprah di jalur diplomasi sebagai diplomat kementerian luar negeri RI.

Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir berpidato di muka Sidang Dewan Keamanan PBB. Dihadapan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Sjahrir menguraikan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara, lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Secara piawai Sjahrir mematahkan satu persatu argument yang sudah disampaikan wakil Belanda, ZVan Kleffens.

Hasil perjuangan Sjahrir dan kawan-kawan di medan diplomasi, boleh dikatakan cukup gilang-gemilang. Sebab PBB kemudian memutuskan untuk ikut campur dan menganggap persoalan Indonesia-Belanda merupakan masalah pertikaian dua negara yang berbeda. Dengan demikian, Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Alhasil, reputasi Belanda tercoreng di mata dunia internasional. Wakil Belanda Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan negaranya dalam sidang Dewan Keamanan PBB itu. Kegagalan itu dinilai sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional atas seorang diplomat  muda dari negara yang baru lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.

Keberhasilan Sjahrir sebagai diplomat pejuang telah membuat reputasinya berkibar di dunia internasional dan kalangan wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB. Beberapa surat kabar menamakan Sjahrir sebagai the Smiling Diplomat. Murah senyum, cerdik dan pandai menarik simpati bangsa lain.

Sayangnya, prestasi gemilangnya di dunia diplomasi tidak segemilang reputasinya sebagai politisi dan kekuatan penggerak Partai Sosialis Indonesia (PSI). Berawal dari kesepakatan strategis dengan mitranya Amir Syarifuddin untuk membentuk Partai Sosialis, akhirnya harus pecah kongsi pada 1948, ketika Syarifuddin bergabung dengan Fron Demokrasi Rakyat (FDR) yang dimotori oleh Muso dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah Syariduddin dan Muso terlibat pemberontakan yang kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Madiun September 1948, maka tumpaslah kedua tokoh kiri tersebut. Sehingga Sjahrir, yang pada dasarnya menyesali perpecahan di kubu kaum sosialis tersebut, pada 1950 mendirikan partai baru, Partai Sosialis Indonesia. Lagi-lagi patut disayangkan, PSI hanya mengandalkan basis dukungan di kalangan kelas menengah dan kaum intelektual, sehingga dalam pemilihan umum 1955 gagal memperoleh suara yang berarti.

Lebih tragis lagi, Sjahrir dan para pentolan PSI, bersama-sama dengan para pimpinan Partai Masyumi di bawah pimpinan M Natsir, terjebak dalam gerakan melawan pemerintahan Presiden Sukarno. Sehingga hubungan Sjahrir dengan Bung Karno jadi semakin memburuk. Bahkan kemudian karena dipandang terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera  Barat dan Sulawesi Utara  pada 1958, PSI dan Masyumi kemudian dibubarkan oleh Bung Karno.

Tidak sampai di situ saja. Pada 18 Januari 1962, Sjahrir ditangkap, atas tuduhan terlibat dalam penggulingan pemerintah dan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Pada 9 April 1966, Sjahrir wafat, dalam perawatan di Swiss,  sewaktu masih bersatus sebagai tahanan politik.

Sebagai seorang ideolog paham sosialisme, Sjahrir penuh dengan paradoks. Yang mana penyikapannya yang paradoks sebagai ideolog sosialisme, pada perkembangannya telah mematikan watak sosialisme sebagai basis ideologi yang diklaim oleh PSI. Kecenderungannya yang pro kebijakan ekonomi pasar  bebas dengan dalih untuk menyenangkan negara-negara kapitalis eropa, pada perkembangannya PSI yang berhaluan Sjahrir secara de faktor lebih merupakan partai berhaluan neo-liberalisme daripada sebagai partai berbasis sosialisme dalam pengertiannya yang sesungguhnya.

Seperti penuturan Dr JD Legge dalam bukunya the Followiers of Sutan Sjahrir, terungkap betapa Sjahrir sangat phobia terhadap etatisme(ide bahwa negara merupakan subyek ekonomi dan politik), nasionalisme dan revolusi, merupakan akar penyebab mengapa Sjahrir sebagai kekuatan penggerak Sosialisme Indonesia, pada gilirannya telah menjadi seorang ideolog yang paradoks.

Hendrajit

 

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit