Joseph E. Stiglitz (Foto: Istimewa)
Joseph E. Stiglitz

Jakarta, Aktual.com – Setelah launching buku terbarunya “The Euro: How A Common Currency Threatens the Future of Europe”, Joseph E Stiglitz sempat berkomentar (lagi) soal masa depan sebuah ‘school economic thinking’ yang bernama neoliberalisme.

Dia mengatakan, dominasi neoliberalisme sebagai ‘school economic thinking’ di barat sudah menuju jurang kematian. Krisis finansial pada 2008 lalu membuktikan hal tersebut.

Dalam buku baru itu, Stiglitz menjelaskan bahwa pendekatan neoliberalisme dalam ekonomi dan politik di Uni Eropa adalah salah satu fakrtor penting ‘hancurnya’ Uni Eropa.

Sejak tahun 1980-an (pasca Washington Consensus), AS dan Inggris adalah promotor utamanya. Di bawah Presiden Ronald Reagan di AS dan Perdana Menteri Margareth Thatcher di Inggris, ide besar neoliberalisme yang sering kita sebut sebagai Washington Consensus itu terus berlanjut ke presiden-presiden setelahnya.

Tradisi neoliberalisme (Washington Consensus) yang dipakai sebagai dasar kebijakan ekonomi dan politik itu adalah adalah free trade, open markets, privatisasi, deregulasi dan desentralisasi. Mantra-mantra ‘ampuh’ itu menjadi pondasi penting dibalik seluruh kebijakan-kebijakan negara barat (AS dan Uni Eropa) dan organisasi-organisasi internasional seperti IMF dan World Bank.

Kepada media Business Insider, Stiglitz – kritikus paling serius tentang neoliberalisme ini – berkata seperti ini: “ ‘Neoliberal euphoria’ that has gripped the world since the 80s is now gone…. the idea that markets function best when left alone, and that an unregulated market is the best way to increase economic growth, which will ultimately benefit everyone — has now been pretty much disproved… We’ve gone from a neoliberal euphoria that ‘markets work well almost all the time’ and all we need to do is keep governments on course, to ‘markets don’t work’ and the debate is now about how we get governments to function in ways that can alleviate this.”

Lalu, apa relevansi pernyataan Stiglitz ini buat Indonesia?

Media nasional sudah sering menyajikan ratusan berita soal langkah deregulasi besar-besaran pemerintah untuk meminang investasi dan menggenjot pertumbuhan lewat pembangunan infrastruktur. Ratusan berita juga soal privatisasi BUMN untuk menstimulus pembangunan infrastruktur.

Entah kenapa, di satu sisi ide besar neoliberalisme (termasuk deregulasi dan privatisasi) mengalami kebangkrutan di barat (dalam pandangan Stglitz) namun menjadi ‘neoliberal euphoria’ baru di negara kita ini.

Hendaknya ini menjadi catatan samping buat pemerintah.

Kecermatan dan kehati-hatian tetap harus menjadi landasan penting dalam memutus sebuah kebijakan ekonomi dan politik yang masih menggunakan ide-ide dasar neoliberalisme yang sudah mengalami kebangkrutan itu…

 

(Faizal Rizki Arief)