Edy Mulyadi

Jakarta, Aktual.com-“Ketimpangan antara si miskin dan si kaya membutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan belanja sosial, yang tujuannya untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal.”

Rasaya adem bener membaca atau mendengar kalimat hebat (terutama yang saya cetak tebal) ini. Siapa pun yang membaca atau mendengar bakal berpikir si empunya kutipan pastilah orang yang sangat care terhadap rakyat. Dia pasti orang yang keberpihakannya amat tinggi terhadap rakyat.

Saya menemukan untaian kalimat indah itu di akun facebook (fb) milik Sri Mulyani Indrawati yang beralamat di https://www.facebook.com/smindrawati/. Ya, Menteri Keuangan yang akrab disapa Ani ini menuliskannya pada Jumat, 7 Juli 2017 pukul 06.28 WIB. Jadi, masih terbilang baru. Masih lumayan anget…

Bangga betul punya Menkeu yang berpihak kepada rakyat miskin. Di tangan seorang Menkeu yang juga sekaligus Bendahara Negara, keberpihakan semacam ini tentu sangat dahsyat. Pasalnya, dialah (mewakili Pemerintah dan bersama DPR) yang menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari sinilah keberpihakan kepada rakyat miskin dalam bentuk meningkatkan belanja sosial disusun dan dialokasikan.

Tapi bicara adalah satu hal. Sedangkan perbuatan adalah hal lain lagi. Sekarang mari kita buka data, apakah dia sesuai antara kata dan tindak nyata? Kali ini saya menggunakan pembanding dengan era yang sama. Ini untuk menghindari hujatan dan sikap nyinyir para Anier (pendukung dan pemuja Ani) ketika menanggapi artikel saya sebelumnya yang berjudul Sri Mulyani dan Pidato yang Heroik Itu…


Rakyat dibegal

APBN 2017 mengalokasikan anggaran untuk kategori belanja sosial (kesehatan dan subsidi energi) total mencapai Rp181,3 triliun. Masing-masing untuk anggaran kesehatan Rp104 triliun dan subsidi energi Rp77,3 triliun.

Dalam tempo dua tahun (2015-2017), jumlah subsidi energi dipangkas sebesar 66,2%. Akibatnya, harga listrik, gas, dan BBM melonjak. Bahkan khusus listrik, pemerintah menaikkan tarifnya secara beruntun, setidaknya tiap tiga bulan. Artinya, dalam setahun saja tarif listrik naik lebih dari 100%. Padahal tidak ada gaji pegawai atau buruh yang naik tiga kali setahun. Begitu juga dengan pendapatan rakyat yang bukan pegawai seperti petani, nelayan, pedagang asongan, dan lainnya. Ini sama saja dengan rakyat dibegal oleh Pemerintahnya sendiri.

Sekarang bandingkan dengan duit yang dialokasikan pemerintah untuk pembayaran utang. Jumlah utang pemerintah dari waktu ke waktu makin membengkak saja. Jumlah utang pemerintah di akhir 2014 tercatat Rp2.605 triliun. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu mencatat, sampai 30 Juni 2017, angkanya melonjak jadi Rp3.707 triliun. Artinya, dalam tempo kurang dari tiga atahun utang bertambah sebesar Rp1.103 triliun.

Data itu juga menyebutkan, dalam dua tahun ke depan Pemerintah harus mengalokasikan fulus sebesar Rp810 triliun untuk membayar utang. Rinciannya, Rp390 triliun pada 2018 dan sisanya yang Rp 420 triliun untuk 2019. Rp810 triliun! Luar biasa!

Pada tahun ini Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk membayar utang pemerintah baik dalam dan luar negeri. Jumlah persisnya Rp221 triliun hanya untuk membayar bunga utang, alias setara dengan empat kali lipat belanja sosial pemerintah. Sebagai info, tahun lalu anggaran untuk membayar utang Rp182,8 triliun.

Pada titik ini, amat layak jika kepada Sri Mulyani kita bertanya, mana peningkatan belanja sosial pemerintah untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal? Bukankah faktanya justru sebaliknya? Belanja sosial dalam bentuk berbagai subsidi untuk rakyat terus dipangkas. Tidak peduli rkyat tercekik beratnya beban hidup. Di sisi lain alokasi untuk membayar utang bukan saja aman, bahkan jumlahnya terus membengkak. Beginilah watak dan ciri utama neolib.

Utang supermahal

Siapakah para pemberi utang kepada republik ini? Mereka adalah para kreditor dan bond holder atau biasa disebut sebagai investor. Kumpulan investor inilah yang dalam mazhab neolib sering disebut sebagai “pasar”. Jadi, kalau mereka berkata Sri adalah Menkeu yang disukai pasar, artinya Menkeu kita disenangi investor alias para bond holder dan kreditor.

Kelompok inilah yang menikmati laba supergede dari obligasi pemerintah yang diterbitkan semasa Ani menjadi Menkeu. Pasalnya, perempuan kelahiran Lampung, 26 Agustus 1962 ini dikenal sangat royal menebar bunga supertinggi untuk tiap surat utang yang diterbitkannya.

Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra menunjukkan, bahwa bunga obligasi Indonesia adalah yang tertinggi dibandingkan 10 negara Asia Timur lainnya. Padahal, dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia (5,04%%) adalah keempat tertinggi. Kita mengalahkan Malaysia (4,5%), Singapura (1,8%), Thailand (3,2%), Korsel (2,3%), Taiwan (1,4%), dan Hong Kong ((1,9%).

Tapi, tetap saja Ani mengobral bunga supertinggi untuk obligasi bertenor 1 dan 10 tahun. Bunga kita yang 6,17% untuk setahun dan 7,08% untuk obligasi 10 tahunl. Bandingkan dengan Filipina (2,9% dan 5,4%), Vietnam (3,9% dan 5,76%), dan Thailand (1,57% dan 2,6%).

Jika dilihat selisih bunga itu sepertinya kecil, hanya 2-4%. Tapi dengan asumsi bertenor 10 tahun, nilai nominalnya sangat luar biasa. Angkanya berkisar Rp56 triliun lebih tinggi setiap tahun sejak 2016-2020.

Kenapa sampai 2020? Karena sebagian besar utang berbunga supertinggi itu terjadi saat Ani menjadi Menkeu di era Presiden SBY, yaitu 2006-2010. Dalam periode itu, dia menjaring utang tidak kurang dari Rp476 triliun. Nah, sekarang silakan dikalikan saja, berapa selisih bunga yang harus dibayar Indonesia selama 10 tahun itu. Maka ada duit Rp95 triliun selisih yang kita bayar dibandingkan ketiga negara tadi.

Sepertinya, sebagai Menkeu jeng Sri terlampau fokus dan semangat memalak rakyat lewat berbagai pajak dan penghapusan subsidi. Dia juga terus saja sibuk membuat utang baru. Alasannya untuk mengamankan APBN. Agar terbuka ruang fiskal yang lebih lebar, katanya. Padahal, duit itu untuk mengamankan alokasi pembayaran utang kepada para majikan asingnya. Kalau sudah begini, apa bedanya Menkeu dengan debt collector?

Terus, bagaimana dengan untaian kalimat indah dan adem di facebook tadi? Katanya mau meningkatkan belanja sosial untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal? Buktinya kok sebaliknya? Jangan-jangan, kinerja tidaklah penting. yang penting menjaga cicilan utang jangan sampai menunggak. Begitu, ya? (*)

Edy Mulyadi,
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs