Soekarno Sebagai Penggali Pancasila (Aktual/Ilst)
Soekarno Sebagai Penggali Pancasila (Aktual/Ilst)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Pada awalnya, PPKI terdiri dari 21 anggota yang diketuai (lagi-lagi) oleh Sukarno dengan Mohammad Hatta dan Radjiman Wediodiningrat sebagai wakil ketua. Dari 21 anggota ini, 12 di antaranya bisa diklasifikasikan sebagai para pemimpin golongan kebangsaan generasi tua. Sembilan lainnya terdiri dari dua wakil pangreh praja, tiga dari kesultanan Yogyakarta, Surakarta dan Bugis, dua dari or¬ganisasi Islam, satu dari wakil Peta, dan satu dari minoritas ke¬tu¬runan China. Organisasi Islam diwakili oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah dan Wachid Hasjim dari NU.

Pertemuan pertama PPKI dilaksanakan pada 18 Agustus 1945. Pada saat itu, suasana kebatinan dan situasi politik Indonesia telah berubah secara dramatis, menyusul proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Dalam suasana kegembiraan atas kemerdekaan Indonesia, dilakukan beberapa penyesuaian dalam komposisi PPKI. Atas saran Soekarno enam orang anggota ditambahkan, termasuk Kasman Singodimedjo (Ko¬mandan Peta di Jakarta). Alhasil, selain Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Wachid Hasjim, ada dua nama lain yang bisa dianggap mewakili suara Islam di PPKI, yakni Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Re¬publik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah ‘Piagam Jakarta’ sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) di belakang sila Ketuhanan. “Tujuh kata” itu dicoret lantas diganti dengan kata-kata ‘Yang Maha Esa’. Sehingga selengkapnya menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Sebagai ikutan dari pencoretan “tujuh kata” ini, dalam batang tubuh UUD 1945 disetujui pula Pasal 6 ayat 1: “Presiden ialah orang Indonesia asli”, tak ada tambahan kata-kata “yang beragama Islam”. Demikian pula Pasal 29 ayat 1 bunyinya menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, tanpa disertai “tujuh kata” di belakangnya.

Tentang pencoretan ‘tujuh kata” tersebut, Mohammad Hatta punya andil besar, seperti diakui sendiri dalam otobiografinya, Memoir Mohammad Hatta (1979). Pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta mendekati tokoh-tokoh Islam agar bersedia mengganti kalimat ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam rancangan Piagam Jakarta dengan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Alasannya, demi menjaga persatuan bangsa.

Atas usul perubahan itu, Teuku Hasan menyambutnya secara positif, adapun Wachid Hasjim tidak hadir, sedangkan Kasman baru menerima undangan pagi itu sehingga belum siap berurusan dengan hal itu, menyisakan Ki Bagus untuk mengambil sikap. Usaha untuk “membujuk” Ki Bagus dilakukan oleh Teuku Hasan dan Kasman. Dengan berbagai argumen persuasi yang dikemukakan, akhirnya Ki Bagus bersedia menerima usul perubahan itu. Dengan demikian, kubu Islam akhirnya menerima pencoretan “tujuh kata” itu.

Meskipun pencoretan “tujuh kata” itu menimbulkan kekecewaan di sebagian golongan Islam, karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya, secara de facto dan de jure pencoretan “tujuh kata” itu mencerminkan realitas politik yang ada dan memiliki keabsahan. Kekuatan representasi politik Islam di PPKI nyatanya memang tak seberapa, sedangkan yang berwenang menetapkan UUD tak lain adalah PPKI bukan BPUPK.
Lagipula, pencoretan “tujuh kata” itu tidak mengubah semangat dasar Piagam Jakarta.

Seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta: Pada waktu itu kami dapat menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ (Hatta, 1979: 28).

Kekecewaan sebagian pemimpin golongan Islam lebih merefleksikan masih menggeloranya semangat “politik identitas”, yang pada umumnya lebih didefinisikan oleh ingatan pedih ke belakang, ketimbang oleh visi ke depan. Dalam suasana politik yang lebih lapang, dengan terjaminnya kewajaran (fairness), kebebasan dan keadilan dalam kehidupan publik bagi setiap warga dan komunitas untuk mengekpresikan dan mengaktulisasikan dirinya, kegairahan dengan eksklusivitas politik identitas itu dengan sendirinya akan mereda. Dengan demikian, konstitusi yang seharusnya ditulis sebagai sesuatu yang ideal, harus mampu mentransendensikan diri dari kondisi-kondisi temporer ini dengan jangkauan visi jauh ke depan yang sepatutnya dapat menjamin dan melindungi hak setiap warga secara setara di depan hukum. Dengan kata lain, kelapangan golongan Islam—meski pada mulanya sulit—untuk menerima pencoretan “tujuh kata” itu memberi jalan kepada bangsa ini untuk memiliki konstitusi yang lebih ideal dan tahan banting.

Dengan pencoretan “tujuh kata” itu, moral “gotong-royong” sebagai dasar dari Pancasila serta moral “kekeluargaan” sebagai dasar sistematik UUD memperoleh kepenuhannya. Negara Indonesia benar-benar menjadi negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945, setelah disahkan pada 18 Agustus, tidak ada lagi pokok pikiran kelima, yang memberikan keistimewaan kepada penduduk yang beragama Islam, seperti sebelumnya dinyatakan oleh Panitia Kecil Perancang Hukum Dasar.

Adapun empat pokok pikiran yang tersisa, berbunyi sebagai berikut:
1. “Negara”—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam “Pembukaan” ini diterima aliran pengertian Negara Persatuan. Negara yang melindungi dan meliputi bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian “Pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.
2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam “Pembukaan” ialah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem Negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas Kedaulatan Rakyat dan berdasar permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
4. Pokok pikiran yang keempat yang terkadung dalam “Pembukaan” ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu Undang-Undang Dasar itu harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara, untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Dengan pencoretan pokok pikiran kelima, moral ketuhanan tetap dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara—seperti tercermin pada pokok pikiran keempat, namun diletakkan dalam konteks negara “kekeluargaan” yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi-permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penutup
Dalam lintasan panjang proses konseptualisasi Pancasila itu, dapat dikatakan bahwa 1 Juni merupakan hari kelahiran Pancasila. Pada hari itulah, lima prinsip dasar negara dikemukakan dengan diberi nama Panca Sila, dan sejak itu jumlahnya tidak pernah berubah. Meski demikian, untuk diterima sebagai dasar negara, Pancasila itu perlu persetujuan kolektif melalui perumusan Piagam Jakarta (22 Juni) dan akhirnya mengalami perumusan final lewat proses pengesahan konstitusional pada 18 Agustus. Oleh karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945.

Meskipun Undang-Undang Dasar kita sejak tanggal 18 Agustus 1945 itu telah mengalami beberapa kali perubahan, namun ia selalu menegaskan di dalam Mukadimahnya, bahwa kemerdekaan kita harus disusun berdasarkan Pancasila, yang mengandung lima sila yang saling kait-mengait.

Sejak tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (Leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya seperti itu, Pancasila merupakan sumber jatidiri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Soekarno melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia itu secara padat dan meyakinkan:
Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme. Perjoangan suatu bangsa, perjoangan melawan imperialisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya (Soekarno, 1958, I: 3)

Dengan demikian, Negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan visioner. Suatu pangkal tolak dan tujuan pengharapan yang penting bagi keberlangsungan dan kejayaan bangsa. Dalam pidatonya di PBB, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi keberlangsungan bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya” (Soekarno, 1989: 64).

Pentingnya konsepsi dan cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh cendekiawan-politisi Amerika Serikat John Gardner: “No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar).

Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa.

Pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut.
Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah negara sekular yang ekstrem, yang memisahkan “agama” dan “negara” dan berpretensi untuk menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut alam Pancasila bahkan diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Tetapi saat yang sama, Indonesia juga bukan “negara agama”, yang hanya merepresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan agama untuk mendikte negara. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan multikeyakinan, negara Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan, dan harus dapat mengembangkan politiknya sendiri secara independen dari dikte-dikte agama.
Rasionalitas dari alam pemikiran Pancasila seperti itu mendapatkan pembenaran teoretik dan komparatifnya dalam teori-teori kontemporer tentang “public religion” yang menolak tesis “separation” dan “privatization” dan mendukung tesis “differention”. Dalam teori ini, peran agama dan negara tidak perlu dipisahkan, melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa keduanya saling mengerti batas otoritasnya masing-masing yang disebut dengan istilah “toleransi-kembar” (twin tolerations).

Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan dunia itu dikembangkan melaui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’. Kedalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab”.

Komitmen bangsa Indonesia dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan itu sangat visioner, mendahului “Universal Declaration of Human Rights” yang baru dideklarasikan pada 1948. Secara teoretik-komparatif, jalan eksternalisasi dan internalisasi dalam mengembangkan kemanusiaan secara adil dan beradab itu menempatkan visi Indonesia dalam perpaduan antara perspektif teori ‘idealisme politik’ (political idealism) dan ‘realisme politik’ (political realism)—yang berorientasi kepentingan nasional—dalam hubungan internasional.
Ketiga, menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan , yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan ’bhineka tunggal ika’. Di satu sisi, ada wawasan kosmopolitanisme yang berusaha mencari titik-temu dari segala kebhinekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila), UUD dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.

Dengan demikian, Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, yang bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, tetapi juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing. Dalam khazanah teori tentang kebangsaan, konsepsi kebangsaan Indonesia menyerupai perspektif ‘etnosimbolis’ (ethnosymbolist), yang memadukan antara perspektif ‘modernis” (modernist)—yang menekankan unsur-unsur kebaruan dalam kebangsaan, dengan perspektif ‘primordialis’ (primordialist) dan ‘perenialis’ (perennialist)—yang melihat keberlangsungan unsur-unsur lama dalam kebangsaan.

Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka ’musyawarah-mufakat”. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha (minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.

Gagasan demokrasi permusyawaratan ala Indonesia yang menekankan konsensus dan menyelaraskan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu sangat visioner. Gagasan demokrasi seperi itu mendahului apa yang kemudian disebut sebagai model ”demokrasi deliberatif” (deliberative democracy), yang diperkenalkan oleh Joseph M. Bessette pada 1980, dan juga ada kesejajarannya dengan konsep ”sosial-demokrasi” (sosdem).

Kelima, menurut alam Pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusian, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai mahkluk individu (yang terlembaga dalam pasar) dan peran manusia sebagai makhluk sosial (yang terlembaga dalam negara), juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam suasana kehidupan sosial-perekonomian yang ditandai oleh aneka kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang kooperatif (coopetition) berlandaskan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi peran masing-masing yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekelurgaan. Peran individu (pasar) diberdayakan, dengan tetap menempatkan Negara dalam posisi yang penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitasi, penyediaan, dan rekayasa sosial, serta penyediaan jaminan sosial.

Jika diletakkan dalam perspektif teoretis-komparatif, gagasan keadilan sosial menurut Pancasila merekonsiliasikan prinsip-prinsip etik dalam keadilan ekonomi baik yang bersumber dari hukum alam, hukum Tuhan, dan sifat-sifat sosial manusia, yang dikonseptualisasikan sejak pemikiran para filosof Yunani, pemikiran-pemikiran keagamaan, teori-teori ekonomi merkantilis, ekonomi liberalisme klasik dan neo-klasik, teori-teori Marxisme-sosialisme, sosial-demokrasi hingga “Jalan Ketiga”. Gagasan keadilan ekonomi menurut sosialisme Pancasila mempunyai kesejajarannya dengan diskursus sosial-demokrasi di Eropa, tetapi juga memiliki akar kesejarahannya dalam tradisi sosialisme-desa dan sosialisme-religius masyarakat Indonesia.

Demikianlah, para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita suatu dasar falsafah dan pandangan hidup negara—yang menjiwai penyusunan UUD—yang begitu visioner dan tahan banting (durable). Ajaran yang dikandung Pancasila bahkan dipuji oleh seorang filosof Inggris, Bertrand Russel, sebagai sintesis kreatif antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang merepresentasikan ideologi komunis). Lebih dari itu, seorang ahli sejarah, Rutgers, mengatakan, “Dari semua negara-negara di Asia Tenggara, Indonesialah yang dalam Konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas melakukan latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada semua revolusi melawan penjajahan. Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan secara lebih mendalam daripada revolusi-revolusi itu.”

Tinggal masalahnya, bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah apa yang disebut Kuntowijoyo (2001) dengan proses “radikalisasi Pancasila”. “Radikalisasi” dalam arti “revolusi” untuk mengakarkan gagasan Pancasila ke dalam bumi kenyataan, demi membuat Pancasila lebih tegar, efektif, dan aktual. Radikalisasi Pancasila yang dimaksudkannya ialah (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, (3) mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Proses radikalisasi itu dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan; sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional. Pemikiran-pemikiran lain yang bersifat abstraksi-filosofis juga bukan tanpa makna. Tetapi pemikiran yang bersifat abstraksi-filosofis menjadi lebih bermakna sejauh diberi kaki operasionalisasinya agar bisa menyejarah dan memiliki makna bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Dengan cara-cara seperti itulah, idealitas Pancasila bisa bergerak mendekati realitas. Tes terakhir dari “kesaktian” Pancasila teruji ketika setiap sila Pancasila bisa dibumikan dalam kenyataan. Dalam terang pemahaman ini, ritual kesaktian Pancasila tidak lagi dirayakan dengan tuduhan kambing hitam untuk mengucilkan suatu golongan, melainkan dengan mengobarkan semangat gotong-royong, mengetuk keinsyafan semua pihak untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila.

(Selesai)