Jakarta, Aktual.com – Mencuatnya skandal impor minyak bodong atau tidak sesuai komposisi membuat integritas PT Pertamina (Persero) dipertanyakan publik, apalagi adanya isu holding membuat banyak pihak tidak percaya akan rencana bisnis perusahaan itu.

Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Mohammad Reza Hafiz menyampaikan bahwasanya perusahaan itu masih dibelenggu oleh para pemburu rente, tentu saja masayarakat hendaknya harus melihat wacana holding penuh dengan cermat agar Pertamina tidak menjadi bancakan para oknum di perusahaan itu.

“Kasus Glencore ini harus jadi pelajaran bahwa tata kelola impor minyak masih jadi lahan basah rent seeker. Kemudian ini juga menjadi catatan Pertamina yang katanya mau jadi holding BUMN energi, harus disikapi dengan hati-hati,” kata Mohammad Reza kepada Aktual.com, Selasa (27/9).

Sebagaimana dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, Pertamina terpaksa melakukan penolakan dua kargo minyak Sarir dan Mesla yang tidah memenuhi komposisi kesepakatan.

Penolakan ini disinyalir lantaran faktor terlebih dahulu diungkap media ke permukaan publik. Yusri menduga ada permainan antara Pertamina dengan Glencore untuk mengambil untung dari selisih harga dalam perbedaan komposisi minyak.

Seharusnya jelas Yusri, berdasarkan mekanisme impor, sewaktu posisi kapal tersebut loading di pelabuhan negara Libya (negara asal minyak), terdapat tim surveyor untuk memeriksa kondisi barang.

Jika memang barang tersebut tidak sesuai pesanan, maka hasil laporan tim sudah bisa menjadi landasan bagi ISC Pertamina untuk melakukan penolakan, dan kapal tidak semestinya berlayar ke Indonesia. Namun anehnya, penolakan itu setelah kapal datang ke Indonesia.

“Biasanya begitu loading di port Libya, hasil surveryor Independet yang ditunjuk harus segera dikirim ke ISC. Jadi aneh kenapa sampai kapal tersebut sudah merapat di terminal penampung Balikpapan baru ditolak,” cetus Yusri.

(Laporan: Dadangsah)

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Eka