Presiden pertama RI Sukarno dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. (ilustrasi/aktual.com)

Sikap yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk bertahan dengan pemberlakuan IUPK, berarti pemerintah sudah menempuh jalan yang benar dan karenanya patut didukung oleh semua elemen masyarakat, utamanya para pemangku kepentingan di sektor energi. Sebab hal itu menggambarkan betapa keputusan pemnerintah yang dalam hal ini kementerian ESDM, sejatinya dirasa akan merugikan Freeport.

Namun kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Namun dalam menyikapi soal Freeport ini, kita jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sebab keberadaan Freeport erat kaitannya dengan tumbangnya Presiden pertama RI Sukarno yang salah satu pemicunya adalah soal rencana menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Sehingga Freeport yang pada waktu itu sedang bermaksud mengincar penguasaan tambang di Papua, merasa dirugikan dengan keluarnya undang-undang baru yang gagasan utama di balik undang-undang tersebut adalah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.

Beberapa saat sebelum lengser dari tampuk kekuasaan, Presiden pertama RI  Sukarno atau yang lebih kita kenal dengan Bung Karno, lengser dari tampuk kekuasaan, pada 1965 telah mencabut  undang-undang Penanaman Modal Asing No. 78 tahun 1958, dan bersamaan denan itu pula menggantinya dengan UU No. 16 Tahun 1965 yang secara tegas menolak penanaman modal asing.

Dalam butir 3 UU tersebut dinyatakan, “bahwa untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan prinsip Deklarasi Ekonomi untuk membangun ekonomi nasional yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme, harus dikikis habis penanaman/operasi modal asing di Indonesia sehingga dapat memperbesar produksi nasional guna mempertinggi tingkat penghidupan rakyat Indonesia.”

Sayangnya, menyusul meletusnya Gerakan September 1985, dua tahu kemudian secara definitif telah dilumpuhkan kekuasaan politiknya, dan Suharto muncul sebagai penguassa baru. Apapun versi seputar dalang dan faktor penyeban meletusnya G-30 S 1965, namun yang jelas Bung Karno tak lama kemudian lengser dari kekuasaan. Dan terkait dengan itu pula, maka nasib UU No 16/1965 itupun tidak digunakan lagi sebagai landasan kebijakan strategis pemrintah Indonesia dalam menghadapi kepentingan-kepentingan korporasi global Amerika Serikat di Indonesia.

Untuk lebih jelasnya, imperialisme ekonomi Amerika Serikat di Papua mulai menancapkan kembal pengaruhnya pada awal pemerintahan Presiden Suharto yang efektif mulai pegang kendali pada 1967. Adalah John D Rockefeller yang sudah menyiapkan sebuah draf undang-undang untuk ditandatangani Suharto.

Presiden Indonesia kedua ini dipaksa untuk membubuhkan tanda tangan di beberapa carik kertas UU No 1/1967 tentang Penanaman modal asing.

Sekadar informasi, John D Rockefeller merupakan putra dari John D Rockefeller Sr. Sang ayah  merupakan industriawan terkaya di Amerika sekaligus filantropis terbesar dunia. Salah satu korporasi migas-nya yang terkenal adalah Standard Oil.

Cerita selintas tentang dinasti Rockefeller itu hanya untuk menggambarkan betapa peralihan pemerintahan Presiden Sukarno kepada Presiden Suharto sejak 1966, sudah sarat dengan pengaruh dan tekanan kepentingan asing, khususnya Amerika Serikat, agar perusahaan-perusahaannya bisa beroperasi di Indonesia bebas hambatan dan gangguan.

Lahirnya UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, selain dibuat untuk menggugurkan UU No 16/1065 yang sanga progresif itu, sejatinya merupakan salah satu keberhasilan korporasi asing dalam merembeskan kepentingannya melalui produk hukum dan perundang-undangan.

Apalagi di era pemerintahan Suharto, meskipun semua produk-produk perundang-undangan harus melewati DPR, namun pada prakteknya semuanya tergantung pada instruksi dan arahan Suharto sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.

Di sinilah niatan Freeport untuk menguasai sektor tambang Papua, mulai terbuka kembali karena   lewat UU No. 16 Tahun 1965 perusahaan-perusahaan multinasional seperti Freeport tidak mungkin bisa menjarah sumberdaya alam kita seenaknya.

Namun kalau kita telisik sejarahnya, adalah Freeport yang pertama kali memanfaatkan celah keluarnya UU No 1/1967.  Freeport Sulphur yang kelak berganti nama menjadi Freeport McMoran Copper & Gold, merupakan perusahaan asing pertama yang berurusan dengan pemerintahan Suharto.

Melalui kontrak pertambangan dengan Freeport ini pula, merupakan kali pertama yang menandai kontrak yang menguntungkan perusahaan asing. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kehadiran Freeport di Papua  bukan sekadar hitung-hitungan investasi ekonomi, melainkan merupakan simbol penjajahan ekonomi Amerika Serikat di Papua. Selain itu, kontrak pertambangan dengan Freeport ini pula merupakan kali pertama kontrak yang menguntungkan perusahaan asing.

Cerita macam apa yang harus kita kilas balik kembali sehingga kita tidak boleh sekali sekali melupakan sejarah? Cerita soal Freeport hakikinya cerita soal ulah para kapitalis global yang mendorong pemerintah negaranya untuk menerapkan kebijakan imperialisme ekonomi di negara-negara sasaran, termasuk Indonesia.

Cerita bermula pada 1936, ketika seorang warga Perancis bernama Jean Jaques Dozy menulis sebuah laporan penelitian, semacam catatan perjalanan ilmiah di Gunung Esberg, Papua Barat. Catatan Dozy ini tersimpan lama di perpustakaan Belanda, sebelum akhirnya ada seorang Belanda, Direktur Pelaksana East Borneo Company Jan van Gruisen menemukan dan mendalami secara intensif isi laporan tersebut.
Gruisen menggambarkan laporan Dozy soal Gunung Esberg di Papua Barat itu sebagai sebuah temuan yang sangat luar biasa. Dozy bercerita tentang keindahan dan kekayaan alam Papua Barat yang sangat indah dan melimpah.
Khusus untuk Gunung Esberg, Dozy menggambarkan bahwa ada bijih tembaga yang bisa langsung dipungut dari permukaan tanah di gunung itu, tanpa harus menggali.
Cerita Gruisen nampaknya menyebar luas, sehingga pengusaha tambang asal Amerika, Forbes Wilson, jadi tertarik. Karena waktu itu Forbes, lagi kebingungan gara-gara pemimpin revolusi Kuba Fidel Castro yang baru saja menggulingkan rejim sayap kanan Fulgensio Batista, telah menasionalisasi semua perusahaan asing yang ada di Kuba.
Freeport Sulphur, yang sudah siap menghasilkan nikel di Kuba, akibatnya gagal jadi tamban uang baginya. Maka, cerita yang dia dengar tentangt prospek tembaga yang tinggal dipungut di Gunung Grasberg, tentu saja dia pandang sebagai berita baik yang tak disangka-sangka.
Dengan tak ayal, Wilson memutuskan untuk melakukan survey lanjutan dengan menggunakanh dasar laporan survei awal yang dilakukan Dozy. Dan ternyata memang benar. Selain menemukan “harta karun terpendam” di Gunung Esberg, juga ditemukan bijih emas dan perak.
Maka tanpa buang-buang waktu lagi, Wilson atas nama Freeport Sulphur dan Jan van Gruisen atas nama East Borneo Company melakukan nota kesepahaman (MoU) untuk bekerjasama mengambil-alih bijih tembaga di Papua. Dalam perhitungan Wilson saat itu, Gunung Grasberg bisa dijadikan pengganti kerugian Freeport Sulphur di Kuba.
Tapi Wilson nampaknya salah perhitungan dalam membaca situasi yang saat itu berkembang di Papua. Papua saat itu masih menjadi isu internasional karena sejak 1954 Presiden Sukarno sudah membawa masalah Papua Barat ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa agar Papua bisa kembali dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, Papua Barat masuk agenda PBB dalam kerangka Dekolonisasi Papua Barat, agar Belanda menyerahkan kemerdekaan Papua kepada Indonesia.
Namun langkah diplomasi Indonesia itu selalu gagal karena Amerika Serikat selalu  berpihak kepada Belanda atas pendudukannya di Papua Barat. Alhasil, Presiden Sukarno hilang kesabaran. Lalu memanfaatkan ketegangan perang dingin antara Blok Barat dan Blok Uni Soviet, seraya memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda pada Agustus 1960.
Indonesia juga membeli persenjataan militer secara besar-besaran dari sejumlah negara Blok Timur.
Sehingga kemudian sejarah mencatat  bahwa Indonesia membeli peralatan perang besar-besaran dari Uni Soviet, Italia, Jerman Barat, dan Yugoslavia. Langkah ini ternyata menjadi negara yang amat diperhitungkan di kawasan Asia.

Manuver Presiden Sukarno yang berkiblat kepada Uni Soviet dan Blok Timur, pada akhirnya mengundang kekhawatiran Presiden John F Kennedy. Sehingga posisi diplomatik Indonesia dalam memperjuangkan kembalinya Papua Barat ke pangkuan Indonesia, mulai mendapat posisi yang menguntungkan.

Sehingga dalam kaitan Freeport, Kennedy yang mulanya mendukung MOU Wilson bersama Gruisen, ternyata kemudian berubah sikap, mendukung Presiden Sukarno. Dan mendesak Belanda agar keluar dari Papua.
Akibatnya, kesepakatan kerjasama antara Freeport dan East Borneo Company antara Wilson dan Gruisen akhirnya buyar dan berantakan.
Bisa dibayangkan betapa marahnya Wilson ketika menghadapi kenyataan bahwa begitu Belanda keluar dari Papua, maka rencana Freeport untuk menguasai kekayaan emas dan tembaga di bumi Papua, gagal total.
Maka sejak itu, Freeport mulai menyusun operasi politik menyingkirkan Presiden Sukarno dan Presiden Kennedy sekaligus. Rupanya, justru Kennedy lebih dulu yang tersingkir, menyusul tewasnya presiden Amerika Serikat yang ke-35 itu, pada November 1963. Kemudian digantikan oleh Lyndon B Johnson pada 1964.
Dan setelah itu, ini yang menarik. Oranng penting Freeport, Augustus C Long, ternyata merupakan tokoh penting di balik keberhasilan pemilihan dan kampanye Presiden Johnson.
Menurut catatan Lisa Pease, Augustus C Long, disamping merupakan direktur di Freeport Sulphur, Long ternyata juga punya saham besar di perusahaan Texaco yang saat itu ternyata juga mengoperasionalisasikan perusahaan Caltex yang joint venture dnegan Standard Oil of California untuk eksplorasi minyak di Indonesia.
Bisa dibayangkan betapa marahnya C Long ketika Sukarno secara sepihak pada 1961 membuat kebijakan baru bahwa dalam kontrak tambang minyak, 60 persen keuntungannya diserahkan kepada Indonesia. Sehingga Caltex yang ketika itu merupakan operator minyak terbesar di Indonesia sangat terpukul.
Maka Long kemudian sampai pada sebuah kesimpulan, agar bisnis Freeport dan Caltex bisa kembali lagi ke tangan para pengusaha besar Amerika Serikat, satu-satunya jalan adalah menggulingkan Sukarno.
Bukan sebuah kebetulan, ketika pada Maret 1965, C Long secara tiba-tiba pension dari Freeport dan Caltex, lalu diangkat sebagai direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan bank milik keluarga Rockefeller.
Secara analisis intelijen, penempatan di pos baru ini meski terkesan tidak penting, justru sangat strategis. Karen melalui sektor perbankan ini, C Long dalam posisi yang cukup berpengaruh untuk mengatur dana-dana politik AS saat itu. Inipun nampaknya hanya merupakan manuver antara, yang belum menggambarkan peran sesungguhnya C Long sebagai “operator politik” dinasti Rockefeller.
Yang lebih mengejutkan lagi, 4 bulan kemudian, pada Agustus 1965, Long diangkat Presiden Johnson Ketua Dewan Penasehat Intelijen Kepresidenan untuk masalah luar negeri. Sehingga pos baru C Long ini bisa dibaca untuk menempatkan dirinya dalam posisi yang berpengaruh dan berwenang dalam menentukan operasi-operasi rahasi8a plus pendanaannya terhadap negara-negara sasaran dari operasi tersebut, termasuk Indonesia.
Karenanya, meskipun sarat dengan kontroversi, namun Long dianggap ikut berperan dalam penyusunan skenario kudeta terhadap Sukarno, dan mendorong pengalihan kekuasaan kepada Suharto.
Sehingga adalah C Long pula, yang merupakan tokoh penting di balik rencana Rockefeller untuk memaksa Suharto menandatangani kontrak karya baru Freeport dengan Indonesia pada 1969, sebagai balas jasa mendukung Suharto sebagai presiden Indonesia.
Melalui konstruksi cerita di atas, nampak jelas bahwa yang krusial ke depan yang harus dihadapi pemerintahan Jokowi-Jk bukan soal kemerdekaan Papua atau Organisasi Papua Merdeka (OPM), melainkan kepentingan Freeport dan AS atas apa yang terkandung di Gunung Grasberg.
Maka, Cukuplah  Sudah Penjajahan Ekonomi dan Pertambangan Amerika Serikat di Papua.
Hendrajit, Pemimpin Redaksi Aktual