Jakarta, Aktual.com – Eksekusi mati terhadap seorang buruh migran asal Madura oleh otoritas judisial Arab Saudi pada pekan lalu adalah bagian dari persoalan besar sistem hukum yang kerap dikritik diskriminatif dan tidak mengindahkan hak asasi pekerja asing di kerajaan bani Saud tersebut.

Saat itu, Kementerian Luar Negeri menceritakan betapa sulitnya melindungi keselamatan para buruh di Arab Saudi dengan mencontohkan lima kasus hukuman mati yang menjerat warga Indonesia hanya karena dituding melakukan praktik sihir.

Dosa mereka sungguh sederhana: membawa jimat — yang biasanya berupa atau kain dengan tulisan Arab gundul — dari Indonesia sebagai tolak bala dan pembawa keselamatan saat mencari nafkah di negeri orang, kata Lalu Muhammad Iqbal, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri.

Praktik yang sebenarnya sangat umum terjadi di Indonesia ini rupanya merupakan kejahatan serius di Arab Saudi yang mengaku mendasarkan sistem hukum mereka dari kitab suci agama Islam. Mereka menganggapnya sebagai tindakan menyekutukan Tuhan sehingga layak dihukum penggal.

Dalam catatan lembaga Migrant Rights, terdapat anggapan umum di kalangan masyarakat Saudi bahwa banyak pekerja rumah tangga asing yang bisa mengendalikan kehidupan majikannya dengan sihir untuk mendapatkan uang lebih banyak.

Ilusi umum ini dapat dilihat dari salah satu episode opera sabun “Tash ma Tash” berjudul “seorang pembantu di rumah kami.” Dalam tayangan itu, sang pembantu merapal mantra kepada keluarga majikannya dan menjadikan mereka sebagai budak.

Tentu saja stereotip ini sangat berbahaya, karena menurut Professor Antoinette Vlieger yang pernah melakukan penelitian lapangan soal buruh migran di Arab Saudi, otoritas setempat tidak punya sistem yang jelas untuk membuktikan praktik sihir yang dituduhkan pada seseorang.

Sistem “Kafala” Cerita tentang sihir ini adalah gambaran betapa rentannya nasib pekerja migran di Arab Saudi. Secara umum, jumlah buruh asing di negara tersebut kini telah mencapai angka sembilan juta orang, atau hampir setara dengan angkatan kerja lokal yang hanya sekitar 12 juta. Indonesia sendiri menyumbang buruh sebanyak lebih dari satu juta orang.

Selain rentan terhadap sistem hukum yang tidak umum di kalangan komunitas internasional, para pekerja migran itu juga menjadi korban dari sistem bernama “kafala” yang menurut Vlieger, dalam laporan penelitian berjudul “Domestic workers in Saudi Arabia and the Emirates: a socio-legal study on conflicts”, bisa dikategorikan sebagai perbudakan modern.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby