Eks Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum menyarankan persidangan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP, disiarkan langsung oleh media televisi. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan tujuh saksi dalam sidang lanjutan perkara korupsi pengadaan e-KTP, Kamis (23/3). Saksi-saksi itu berasal dari unsur Kementerian Dalam Negeri dan DPR.

“Kami merencanakan mengajukan tujuh orang saksi,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Rabu (22/3) malam.

Dari tujuh saksi yang dihadirka , empat diantaranya pernah menduduki jabatan di Kemdagri, sedangkan sisanya merupakan anggota DPR. “Masih akan mendalami aspek pengganggaran proyek e-KTP.”

Berdasarkan informasi saksi-saksi yang akan dihadirkan antara lain 1. Miryam S Haryani (Fraksi Partai Hanura), 2. Taufiq Efendi (Fraksi Partai Demokrat), 3. Wisnu Wibowo (Kepala Bagian Perencanaan Kemdagri), 4. Rasyid Saleh (Dirjen Administrasi Kependudukan 2005-2009), 5. Dian Hasanah (pensiunan PNS Ditjen Dukcapil Kemdagri), 6. Teguh Juwarno (Fraksi PAN), 7. Suparmanto (Kasubag Penyusunan Program Bagian Perencanaan pada Sesditjen Dukcapil Kemdagri).

Dari tujuh nama itu, satu orang yaitu Rasyid Saleh sebenarnya telah hadir pada persidangan sebelumnya. Namun Rasyid datang terlambat dan tidak jadi memberikan kesaksian.

Dalam sidang sebelumnya, mantan Mendagri Gamawan Fauzi membantah adanya penerimaan uang terkait proyek itu. Senada dengan Gamawan, mantan Ketua Komisi II Chairuman Harahap juga membantah.

Namun seorang saksi yang juga dihadirkan dalam sidang saat itu yaitu Diah Anggraeni mengaku menerima uang dalam jabatannya yaitu Sekjen Kemdagri. Diah menyebu uang itu dikembalikan ke KPK ketika kasus mulai disidik KPK.

Dalam penanganan kasus itu, KPK memang mengumbar banyak nama besar yang disebut menerima duit haram. Sejauh ini, baru 2 orang yang telah berstatus terdakwa, yaitu Irman dan Sugiharto, yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri.

Mereka didakwa melakukan perbuatan korupsi ini bersama pihak lain. Perbuatan mereka disebut merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. [M Zhacky Kusumo]

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu