Ahok Marah (Aktual/Ilst.Nelson)

Hari-hari ini ada dua kata yang jadi lebih populer, khususnya di jagad media sosial dan media online. Kata pertama, Ahok. Kedua, fasis. Uniknya lagi, dua kata ini kok disandingkan. Jadilah kalimat “Ahok Fasis” bertebaran di medsos.

Beberapa netizen menulis dengan tanda tanya (?) di belakang “Ahok Fasis”, menjadi “Ahok Fasis?”. Tapi, sebagian lain lugas-lugas saja, tanpa embel-embel apa pun. Seperti tanpa beban. Mungkin mereka yang disebut belakangan ini yakin betul, bahwa Ahok memang fasis.

Tapi, ada lagi yang menambahkan kata “neo” di depan fasis. Jadilah “neofasis.” Nah, ini menarik. Paling tidak, begitulah yang ditulis Ale Raya dalam Kompasiana yang diberinya judul Citra Dirinya Neofasis & Arogan, Dimanakah Tempat Ahok? Artikel menarik ini bisa diklik disini

Lewat artikelnya, Ale membandingkan Ahok dengan Gubernur DKI yang legendaris, Ali Sadikin. “Ahok jelas bukan Bang Ali” tulisnya dalam subjudul artikel itu. Dia juga menyebut sejumlah tokoh China negeri ini dengan berbagai latar belakang dan jasa-jasanya kepada Indonesia.

Ale juga menyebut Rizal Ramli, Menko Maritim dan Sumber Daya yang membatalkan reklamasi Pulau G. Nah, Ahok yang meradang karena pembatalan itu, mulai mencari gara-gara dengan Rizal Ramli yang memang sudah ‘badung’ sejak mahasiswa.

“Jadi, Ahok salah alamat dan kualat mencoba melawan Rizal Ramli, yang mungkin di tahun 1978 Ahok masih pakai celana buntung dan pegang balon mainan warna-warni sambil minum susu kaleng, di saat yang bersamaan Rizal Ramli sudah dikejar-kejar Soeharto karena menentang kediktatoran dan ketidakadilan, dan untuk nilai-nilai kebenaran itu Rizal dipenjarakan oleh rezim fasis Soeharto.” Tulis Ale dalam salah satu paragrafnya.

Untungnya, Rizal Ramli menanggapi santai berbagai manuver Ahok, termasuk upayanya lapor ke Presiden. “Jangan cenganglah jadi orang. Masa segala macem mau diaduin sama Presiden,” kata Rizal Ramli usai Rakor di Kentor Kementerian Kalutan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Rabu (16/7/2016).

Maklum, Ahok memang bukan lawan yang selevel. Rizal Ramli sudah berdiri dan menyuarakan kebenaran dengan lantang di hadapan Soeharto sejak tahun 1978an. Padahal, siapa pun tahu, penguasa Orde Baru selama hampir 32 tahun itu sangat ‘sakti mandraguna’ di zamannya. Dia juga berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena berbagai kebijakan ekonominya yang cenderung neolib.

Tapi, sudahlah. Saya tidak ingin membahas tulisan Ale Raya, termasuk mengapa dia menambahkan kata “neo” pada “fasis” yang kemudian dilekatkannya pada Ahok. Tapi, seperti saya tulis pada pembuka artikel ini, betapa kata Ahok dan fasis belakangan jadi lebih pupuler, inilah yang menarik perhatian saya.

Nasionalis?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan fasis sebagai prinsip atau paham golongan nasionalis ekstrem yang menganjurkan pemerintahan otoriter. Kalau menurut Oxford Dictionary, fasisme adalah extreme totalitarian right-wing nationalist movement. Terjemahan bebasnya kurang lebih, gerakan nasionalis sayap kanan totaliter ekstrim.

Kedua kamus itu mencantumkan kesamaan ciri fasisme, yaitu nasionalisme ekstrim dengan disertai kesewenang-wenangan. Sementara menurut KBBI, otoriter adalah “berkuasa sendiri dan sewenang-wenang”. Sedangkan totaliter adalah pemerintah yang menindas hak pribadi dan mengawasi segala aspek kehidupan warga negaranya.

Berpegang pada kedua kamus tadi, mohon maaf, saya kok tidak sependapat jika dikatakan Ahok fasis. Ingat, baik KBBI maupun Oxford mengaitkan fasis dengan nasionalisme ekstrim. Nah, sampai di sini kan sudah tidak pas. Mana bisa Ahok disebut nasionalis, apalagi diembel-embeli ekstrim? Lha wong pada kasus reklamasi pantai utara Teluk Jakarta dia justru gigih membela pengembang, kok. Untuk membela pengembang, Ahok bersedia melawan siapa saja, dan menabrak serenceng peraturan dan perundangan.

“Ahok itu Gubernur DKI apa karyawan pengembang,” tanya Rizal Ramli yang keheranan karena sikap Ahok yang bagai “maju tak gentar membela yang bayar.” Ehmm…

Ahok otoriter, ya. Ahok sewenang-wenang dan kasar, yes. Ahok kejam dan terbiasa melibas orang miskin (bukan kemiskinan), jawabnya YA dengan huruf besar. Ahok mulutnya seperti toilet, ya juga. Tapi kalau disebut Ahok fasis, ya jelas no, lah! Alasannya, ya itu tadi. Dia sama sekali tidak nasionalis. Merah putih sepertinya sudah luntur dari dadanya.

Dia bisa dan biasa memaki rakyatnya. Ahok tidak segan-segan menyebut seorang ibu yang mempertanyakan Kartu Jakarta Pintar (KJP) dengan sebutan “maling.” Mana mungkin pejabat yang nasionalis tega memaki-maki rakyatnya, di depan umum pula?

Kebiasaan memaki rakyat, apalagi rakyat kecil, inilah yang membuat Rizal Ramlli berang. Buat dia, silakan saja orang memaki elit, bahkan pejabat. Tapi jangan sekali-kali memaki rakyat. Ini pula yang menjelaskan, mengapa belakangan sang Menko menunjukkan sikap tidak suka kepada lelaki yang berambisi menduduki kursi gubernur untuk periode berikutnya itu. Padahal, sebelumnya RR, begitu dia biasa disapa, bersikap netral dalam hajatan Pilkada DKI.

Ahok memang luar biasa. Mantan Bupati Belitung Timur ini juga sering mengeluarkan pernyataan sadis. Misalnya, “Tuhan aja gua lawan”. Bahkan mamanya pun bakal dia usir kalo nyusahin. Di video yang tersebar luas, Ahok secara terbuka mengatakan ajaran kristen itu konyol. Ahok juga bilang orang miskin jangan belagu. Orang miskin adalah PKI. Saking pedenya sebagai pejabat yang ‘bersih’, Ahok mengklaim dirinya manusia setengah dewa.

Tapi yang paling mengerikan, Ahok sempat berpikir akan mengisi water canon tank dengan bensin. Dia mau menyemprot para demontran dengan bensin. Dia juga tegas menyatakan tidak ragu menembak 1.000 demonstran di depan kamera televisi.

Sebagai penutup, by the way, ada persamaan antara Ahok dan Hitler, lho. Selain sikapnya yang tidak segan-segan memusuhi rakyatnya, mereka sama-sama doyan mereproduksi kebohongan. Keduanya yakin benar, bahwa kebohongan yang dilakukan berulang-ulang, akhirnya (bisa) dianggap sebagai kebenaran.

Nah, dengan seabrek kelakuan minus seperti itu, saya tidak tahu harus memberi Ahok label apa. Tapi yang pasti, stempel fasis tidak cocok dilekatkan kepadanya. Maksudnya, kalau kita mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Oxford Dictionary, lho…. (*)

OLeh: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Artikel ini ditulis oleh: