Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Menteri BUMN Rini Soemarno (kanan) sebelum memimpin Rapat Terbatas Evaluasi Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Program Prioritas Provinsi Sulawesi Tenggara di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (10/4). Presiden meminta pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara membangun infrastruktur pendukung sektor pertanian seperti Bendungan Ladongi, Bendungan Pelosika serta pembangunan infrastruktur irigasi lain. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/Spt/17

Jakarta, Aktual.com – Panitia Khusus Angket Pelindo II DPR RI pada tanggal 17 Desember 2015 silam merekomendasikan pemberhentian Menteri BUMN Rini Soemarno. Kini, setelah setahun lebih, apa kabar rekomendasi kepada Presiden Jokowi untuk menggunakan hak prerogatif mencopot Rini?

Berikut laporan Pansus Angket DPR RI mengenai Pelindo II yang disampaikan Rieke Diah Pitaloka dalam Sidang Paripurna 2015 silam.

LAPORAN PANITIA ANGKET DPR RI TENTANG PELINDO II
KEPADA SIDANG PARIPURNA DPR RI
KAMIS, 17 DESEMBER 2015

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera bagi kita semua,

Pimpinan Sidang yang kami hormati,
Anggota Dewan dan hadirin yang saya muliakan,

Pertama-tama mari kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas kehendak dan perkenan-Nya, pada hari ini kita dapat menghadiri Rapat Paripurna DPR RI dalam keadaan sehat wal’afiat.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, atas nama Pimpinan dan Anggota Tim Panitia Angket DPR RI tentang Pelindo II, kami menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan Sidang Dewan yang Terhormat atas kesempatan yang diberikan untuk melaporkan hasil penyelidikan sementara Panitia Angket DPR RI tentang Pelindo II. Perkenankan kami menyampaikan laporan kepada Sidang Paripurna yang terhormat.

Sidang Dewan Yang terhormat,
Pansus Pelindo II yang bekerja sejak 13 Oktober 2015 hingga 15 Desember telah mengundang 1 Menko, 2 Menteri, 1 mantan menteri , Direksi dan Komisaris Pelindo II, Direksi JICT, lembaga konsultan asing, pengacara, dan berbagai kalangan terkait.

Pansus Pelindo II menemukan empat persoalan besar:
Permasalahan Kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa; Perpanjangan pengelolaan PT JICT antara PT Pelindo II dengan HPH. Tata kelola perusahaan PT Pelindo II (Persero), termasuk persoalan pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang sangat serius;

Program Pembangunan dan Pembiayaan Terminal Pelabuhan Kalibaru oleh PT Pelindo II. Sesuai dengan tatib DPR RI, masa kerja Pansus Angket maksimal 60 hari kerja, yang akan berakhir pada tanggal 10 Februari 2016. Namun demikian, pansus menilai sangat diperlukan untuk menyampaikan laporan pendahuluan kinerja pansus kepada paripurna, sekaligus sebagai catatan penting akhir tahun kepada rakyat Indonesia.

Dengan semangat menegakkan konstitusi bersamaan dengan menjalankan fungsi DPR, Pansus mendapat temuan-temuan yang secara politik, hukum dan ekonomi membuka topeng investasi, privatisasi dengan cara memilih mitra strategis, perekayasaan sistematis atas pengalihan surplus ekonomi nasional ke pihak asing.

Sidang Dewan Yang terhormat,
Sejarah ekonomi politik Indonesia mengajarkan bahwa investasi asing yang direkayasa oleh asing di Indonesia telah membuat posisi ekonomi Indonesia nampak membesar, namun semu karena kepemilikan kue pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berada di tangan Indonesia. Inilah yang membuat Bung Karno dan Bung Hatta risau atas bebas beroperasinya perusahaan asing di NKRI.

Kerisauan itu sangat beralasan karena hal itu terbukti dalam kasus perpanjangan kontrak Pelindo II dengan HPH. Pansus Pelindo II mendapat temuan yang mencengangkan. Betapa Menteri bisa membela diri dengan mengatakan tidak mengetahui tentang hukum atas perpanjangan kontrak itu.

Namun, berani mengeluarkan ijin prinsip. Sementara ijin prinsip itu merupakan suatu nomenklatur yang tidak dikenal dalam hukum perundang-undangan BUMN.

Proses perpanjangan kontrak dengan HPH telah dirintis oleh Dirut Pelindo II sejak 27 Juli tahun 2012, dan ijin prinsip tersebut dikeluarkan Meneg BUMN pada tanggal 9 Juni 2015. Padahal, menteri-menteri yang lain, Meneg BUMN dan Menteri Perhubungan pada pemerintahan sebelumnya, maupun Menteri Perhubungan yang saat ini menjabat telah melayangkan surat menolak perpanjangan kontrak tersebut.

Penolakan itu karena belum diperolehnya konsesi dari Otoritas Pelabuhan oleh Pelindo II, sebagaimana perintah UU 17/2008 tentang Pelayaran. Apalagi JICT sendiri belum memperoleh ijin usaha pelabuhan.

Dalam rapat pansus, Meneg BUMN, Rini Soemarno berdalih, bahwa ijin prinsip yang dikeluarkannya mensyaratkan kepemilikan saham Pelindo II harus 51%, dan harus mematuhi ketentuan UU 17 tahun 2008 yang memisahkan fungsi regulator dan operator dan hasil Panja Aset BUMN, serta putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait kerjasama BUMN.

Kontrak final antara Pelindo II dan HPH sendiri ditandatangani pada tanggal 7 Juli 2015 yang telah dinotariatkan (komposisi saham Pelindo II sebesar 48,9% , Kopegmar 0,10%, HPH 51%). Sebelumnya, pada Juni 2015, Pelindo II menagih pembayaran upfront fee dari HPJ sebesar USD 215 juta.

Menurut surat HPI dan Pelindo II, nilai USD 15 juta merupakan tambahan di luar perhitungan DB sebesar USD200 juta. Tambahan tersebut merupakan arahan Meneg BUMN, Rini Soemarno. Pembayaran dilakukan pada 02 Juli 2015 dan dikenai pajak ganda, yakni 15 persen With Holding Tax di Singapura, dan 10 persen PPN di Indonesia.

Penandatanganan konsesi antara Pelindo II dengan Kementrian Perhubungan baru terjadi tanggal 11 November 2015. Lalu pada 06 Juli 2015 Pelindo II pun menerima pembayaran sewa. Padahal Perjanjian Konsesi baru dilakukan pada 11 November 2015. Sebelumnya, Pelindo II berpendapat, perjanjian konsesi itu tidak diperlukan.

Selain itu, perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dan HPH diakui oleh Meneg BUMN dalam pansus memang tidak ada dalam RKAP Pelindo II dan tidak ada dalam RUPS. Ini berarti tidak sesuai perintah dengan UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 22 dan Kepmen BUMN Nomor KEP-101/MBU/2002 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan BUMN.

Bahkan Meneg BUMN Rini Soemarno dalam rapat pansus, dengan di bawah sumpah mengatakan bahwa kegiatan bisnis yang dijalankan BUMN tidak harus selalu ada dalam RKAP, apalagi menyangkut investasi asing.

Dirut Pelindo II, RJ Lino sendiri mengatakan, tidak tahu harus tunduk pada UU yang mana. Yang terpenting, perpanjangan kontrak JICT secara de facto dan pembayaran telah terjadi, secara de jure, proses legal dilakukan belakangan.

Baginya hal tersebut merupakan base practices dalam business to business. Bahkan secara tegas menyatakan tidak perlu ada perjanjian konsesi dengan Kementrian Perhubungan, dan kalaupun itu dilakukan, ia menyatakan adalah sebuah bentuk keterpaksaan.

Dalam rujukan kepastian hukum, pernyataan ini justru sangat memprihatinkan di tengah Indonesia harus bersaing dengan bangsa-bangsa Asia. Sikap seperti itu dikukuhkan oleh konsultan asing, Deutsche Bank, yang juga berperan sebagai kreditor.

Konflik peranan pada korporasi asing seperti itu justru mendapat pembenaran atas nama kebutuhan dan kebebasan investasi asing. Dalam perspektif hukum, selain terindikasi adanya tindak pidana yang merugikan negara, sikap Meneg BUMN dan Dirut Pelindo II merupakan perlawanan terhadap hukum yang berlaku.

Secara politik, Pansus Pelindo II mendapatkan fakta bahwa baik Meneg BUMN maupun DirUt Pelindo II telah bertindak dengan tidak memenuhi azas-azas umum pemerintahan yang baik. Bahkan tidak mematuhi, Keputusan Mahkamah Konstitusi, UU 17/2008, UU 17/2003/, UU 19/2003, UU No. 1/2004 dan UU Anti KKN, dan Peraturan Perundangan terkait lainnya, termasuk mengabaikan keputusan Panja Aset BUMN DPR RI.

Ketidakpatuhan ini bisa menjadi benih karut marutnya politik nasional dan membuka jalan melemahnya kewibawaan pemerintah terhadap kekuatan kapital. Kondisi seperti ini sepantasnya disadari oleh Presiden RI bahwa ada pihak-pihak yang seharusnya membantu terlaksananya amanat konstitusi namun yang terjadi adalah sebaliknya.

Ini potret buruknya akuntabilitas publik Pemerintah di bidang BUMN, khususnya di Pelindo II sehingga prinsip good governance tidak terpenuhi.

Secara ekonomi, ditemukan hal yang tidak layak. Menurut perjanjian kontrak 1999-2019, memang ada tehcnical know how, tetapi di lapangan tidak ditemukan kenyataan adanya keterampilan atau teknologi yang dialihkan. Yang terjadi adalah pengubahan pendapatan menjadi biaya yang ditransfer ke perusahaan yang sama sekali tidak kompeten di bidang jasa pengelolaan kepelabuhanan.

Indikasi tindak pidana perpajakan ini dibiarkan berlangsung karena lemahnya daya tawar Pemerintah Indonesia terhadap investor asing. Saat yang sama perpanjangan kontrak sebelum jatuh tempo justru merugikan Negara sebagaimana temuan BPK, kendati BPK hanya menyatakan sebagai pendapatan yang belum optimal.

Pansus mencatat bahwa laporan BPK per 1 Desember 2015 itu masih berdasarkan PDTT yang diminta Pelindo II. Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sesuai dengan TOR yang diajukan Pansus yang belum masuk. Untuk pelaksanaan kontrak 2015 hingga 2038, Pansus menemukan adanya potensi kerugian negara yang relatif besar.

FRI dan Bahana Sekuritas, dua lembaga penasihat keuangan yang sebelumnya dikontrak oleh Pelindo II, dalam sebuah tim gabungan melakukan kembali analisa terkait valuasi yang dilakukan Deutsche Bank (DB). Tim gabungan tersebut menggunakan dokumen laporan keuangan JICT (1999-2013) dan proyeksi keuangan JICT yang diberikan DB (2014-2038). Berdasarkan analisis ulang, ditemukan oleh tim tersebut hal sebagai berikut:

Merujuk Asumsi Historis:
Manfaat bagi Pelindo II untuk sisa masa kontrak (2015-2018) adalah Rp2,99 triliun jika kontrak diperpanjang , tetapi akan kehilangan potensi pendapatan 2019-2038 sebesar Rp24,7 triliun dikali dengan 49% (saham HPH) jadi Rp.11,85 triliun. (Asumsi kurs sebesar Rp.13.600).

Merujuk Proyeksi DB:
Manfaat bagi Pelindo II Rp36,5 triliun lebih besar jika mengoperasikan sendiri JICT dibandingkan dengan memperpanjang kontrak dengan HPH. Akibat perpanjangan kontrak maka potensi kehilangan penghasilan Pelindo II adalah Rp.36,5 triliun dikali 49% adalah sebesar Rp17,9 triliun (Asumsi kurs sebesar Rp. 13.600).

Sidang Dewan Yang terhormat,
Dari temuan-temuan itu, Pansus mengajak semua elemen bangsa untuk menumbuh kembangkan kesadaran bahwa tegaknya kedaulatan ekonomi Indonesia hanya terjadi jika kita semua setia dan konsisten menegakkan amanat konstitusi dan tidak bersifat ahistoris. Ajakan ini juga berlaku bagi penyelenggara Pemerintah agar melaksanakan sumpah jabatannya.

Jika hati nurani dan pikiran kita terpanggil menjalankan amanat itu, maka hal paling sederhana adalah dengan memperbaiki kualitas akuntabilitas publik. Dampak dari semangat menjalankan sumpah jabatan dan perbaikan kualitas itu dipahami oleh Pansus dengan memberikan catatan penting dan rekomendasi.

REKOMENDASI

Pansus sangat merekomendasikan membatalkan perpanjangan kontrak JICT 2015-2038 antara Pelindo II dan HPH karena terindikasi kuat telah merugikan Negara dengan menguntungkan pihak asing serta telah terjadi Strategic Transfer Pricing pada kontrak Pelindo II dan HPH 1999-2019 dan karenanya kontrak ini putus dengan sendirinya, tanpa perlu Indonesia membayar termination value.

Kembalikan JICT ke pangkuan ibu pertiwi di tahun 2016, dengan pengelolaan yang berkiblat pada konstitusi negara kita sendiri, UUD 1945.

Meminta kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penyelidikan atas adanya dugaan Conflict of Interest dan manipulasi yang dilakukan oleh Deutsche Bank dalam melakukan evaluasi/valuasi selaku konsultan dan dalam memberikan pinjaman sindikasi bank Luar Negeri selaku kreditur.

Pansus sangat merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberikan peringatan keras dan sanksi kepada Deutsche Bank (DB) yang terindikasi kuat telah melakukan fraud dan financial engineering yang merugikan keuangan negara.

Terkait persoalan ketenagakerjaan di Pelindo II dan JICT, pansus sangat merekomendasikan dihentikannya pelanggaran terhadap UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan UU Ketenagakerjaan dengan menghentikan praktek pemberangusan Serikat Pekerja (Union Busting), mempekerjakan kembali karyawan yang telah mengalami pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan mengembalikan karyawan yang dimutasi sepihak sebagai akibat penolakan terhadap rencana perpanjangan kontrak pengelolaan JICT.

Pansus sangat merekomendasikan agar dijalankannya putusan Mahkamah Konstitusi No, 7/PUU/XII/2014 tentang Uji Materi Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan mengangkat pekerja yang berstatus kontrak dan outsourcing yang ada pada core business wajib diangkat sebagai pekerja tetap di Pelindo II dan JICT.

Pansus sangat merekomendasikan kepada aparat penegak hukum untuk terus melanjutkan penyidikan atas pelanggaran undang-undang yang mengakibatkan kerugian negara, serta menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang terlibat dan di institusi mana pun.

Pansus sangat merekomendasikan kepada Menteri BUMN untuk segera memberhentikan Dirut Pelindo II. Sesuai dengan :

Pasal 14 ayat (1) UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara,

Pasal 6 ayat 2 huruf a UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Menteri BUMN merupakan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN;

Panitia Angket DPR RI tentang Pelindo II menemukan fakta bahwa Menteri BUMN dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian Menteri BUMN dengan sengaja tidak melaksanakan kedudukan, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 6 ayat (2a) dan Pasal 24 ayat (2) serta UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 14 ayat (1). Karena itu, pansus sangat merekomendasikan kepada Presiden RI untuk menggunakan hak prerogatifnya memberhentikan, Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN.

Hal yang juga tidak kalah penting adalah, Pansus sangat merekomendasikan kepada Presiden untuk tidak serta merta membuka investasi asing yang dalam jangka panjang merugikan bangsa Indonesia secara moril dan materil, mengancam keselamatan negara dan kedaulatan ekonomi politik bangsa yang akhirnya membuat apa yang dikhawatirkan Bapak Bangsa, Bung Karno, justru terjadi, yakni : Indonesia menjadi kuli bagi bangsa lain, bangsa kuli di antara bangsa-bangsa lain.

Dengan seluruh kerendahan hati, pansus meminta persetujuan Sidang Paripurna yang terhormat terhadap rekomendasi–rekomendasi di atas dan harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Pansus pun pada masa sidang yang akan datang akan melanjutkan penyidikan terhadap Perpanjangan kontrak TPK Koja, Program Pembangunan Terminal Pelabuhan Kalibaru oleh PT Pelindo II, dan Pembiayaan Proyek dan pinjaman PT Pelindo II.

Demikian laporan yang dapat kami sampaikan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam rangka pengabdian kita kepada Negara dan Bangsa Indonesia.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 17 Desember 2015

a.n. PIMPINAN PANITIA ANGKET PELINDO II,

KETUA,

RIEKE DIAH PITALOKA

Artikel ini ditulis oleh: