Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Wapres Jusuf Kalla (ketiga kiri) memimpin Rapat Terbatas membahas Dana Alokasi Khusus (DAK), di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/5). Presiden menegaskan agar tiap daerah membuat penganggaran yang efektif, tepat sasaran, transparansi anggaran, serta berdasarkan prioritas kebutuhan program. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

Jakarta, Aktual.com — Direktur Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahean menilai pemikiran para elit dan penguasa Tanah Air sudah masuk kategori akut. Bagaimana tidak, para pejabat negara malah semakin menempatkan bangsa yang besar ini sebagai sebuah objek yang layak diperlakukan semaunya tanpa harus perduli bahwa bangsa ini dihuni sekitar 250 juta jiwa lebih.

Sesat pikir yang pertama adalah sesat pikir ekonomi. Menurutnya, penguasa kini begitu bernafsu untuk terus menumpuk hutang secara besar besaran.

“Presiden Jokowi sepertinya sangat terobsesi untuk membangun infrastruktur yang kemudian akan mencatatkan namanya diatas infrastruktur itu sebagai sebuah monumen kehebatan Presiden. Padahal sesungguhnya membangun infrastruktur yang gagah-gagahan itu dari hutang seperti Kereta Api Cepat Jakarta Bandung adalah proyek istana pasir yang kelak akan menimbun bangsa ini dengan hutang super besar,” ujar Ferdinand di Jakarta, Minggu (29/5).

Sementara, lanjutnya, urgensi proyek tersebut dapat disimpulkan dalam skala nol karena memang proyek itu adalah proyek tidak penting.

“Jokowi mungkin lupa bahwa berhutang itu tidak baik kalau untuk sekedar gagah-gagahan. Mungkin Jokowi merasa bahwa yang bayar hutang itu nanti adalah bukan dia, yang penting namanya tercantum disana secara monumental. Sungguh sesat pikir yang luar biasa,” cetusnya.

Kemudian, sambung Ferdinand, sesat pikir kedua adalah sesat pikir politik. Jokowi, kata dia, pada saat pilpres dulu sangat berapi-api menyatakan akan membangun koalisi yang ramping dan koalisi yang tidak bagi-bagi kekuasaan. Namun, kini kenyataannya malah sebaliknya.

“Sesat pikir yang luar biasa ketika Jokowi merasa akan bisa memperbaiki bangsa ini dengan menggenggam Golkar yang mana pengurusnya bertabur catatan kriminal yang mengerikan. Bahkan sang Ketum Setya Novanto tercatat dengan sederet masalah. Kenapa Jokowi merasa akan mampu memperbaiki bangsa ini dengan bekerja sama dengan para kriminal? Sungguh sesat pikir yang sangat akut,” ungkapnya.

Terlepas dari dua sesat pikir diatas, kata Ferdinand, masih banyak sesat pikir lainnya seperti membebaskan tenaga kerja cina menyerbu Indonesia dengan alasan kompetisi. Lapangan kerja yang seharusnya untuk para kaum pengangguran dinegara ini akhirnya dicaplok oleh tenaga kerja Cina berbalut investasi.

“Jika Jokowi merasa bahwa bangsa ini akan maju dengan serbuan tenaga kerja Cina dan menumpuk hutang, maka disitulah Jokowi sudah sesat pikir dan harus dilawan,”

“Jika Jokowi merasa bahwa Jakarta akan maju dibawah gubernur Cina hingga terus membela Ahok, maka disitulah Jokowi sesat pikir. Tentu siapapun harus bangkit untuk membebaskan negeri ini dari cengkeraman penguasa yang sesat pikir,” pungkas Ferdinand.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara