Seorang petugas memantau aktivitas di Terminal Petikemas (TPK) Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (24/10). Manajemen TPK Koja bertekad untuk meningkatkan produktivitas guna memastikan kegiataan arus barang berjalan dengan lancar di Pelabuhan Tanjung Priok. Hal itu dibuktikan dengan pencapaian kinerja bongkar muat di dermaga utara yang sekarang sudah menunjukkan Box Crane per Hour (BCH) begitu juga dengan Vessel Operating Rate (VOR) terus meningkat, seiring dengan penataan lapangan sehingga proses bongkar muat menjadi lebih efisien dan tentunya berdampak pada percepatan bongkar muat petikemas. AKTUAL/Humas TPK Koja

Jakarta, Aktual.com – Manajemen Jakarta International Container Terminal (JICT) mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) nomor Perkara No. 403/Pdt.G/2017/PN.JKT.UTR melawan pekerjanya yakni Liston Palito Tambunan, Faizal Eriadi, Akhid, Umar Yusuf dan SP JICT serta PT Empco anak usaha Koperasi Karyawan. Tergugat dituduh menghalang-halangi perbantuan pekerja permanen operator alat RTGC Pelindo II di lapangan JICT dan diklaim menimbulkan kerugian lebih dari Rp134 miliar.

Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT, Firmansyah Sukardiman menilai Majelis Hakim seharusnya menolak gugatan Manajemen JICT karena awal perkara ini adalah substansi Perbuatan Melawan Hukum Direksi JICT yang terindikasi melanggar UU Ketenagakerjaan. Pelindo II bukan Perusahaan Penyedia Tenaga Kerja (PPJP) sehingga bisa menempatkan operator permanen tanpa batas waktu di JICT. Jenis pekerjaan operator alat RTGC juga merupakan kegiatan inti yang tidak dapat dialihdaya (outsourcing).

“Selain itu, gugatan manajemen JICT kurang pihak (Plurium Litis Consortium) karena klaim kerugian harus mengikutsertakan seluruh pekerja termasuk seluruh vendor yang ikut dalam proses produksi. Tidak terkecuali pihak Pelindo II,” jelas Firmasnyah dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (21/9).

Menurutnya, gugatan JICT dinilai kabur dan tidak jelas (Obscuur Libel). Pasalnya, JICT menggugat para Duty Manager Operasional yang notabene masuk ke dalam struktur manajemen. Sehingga aneh jika JICT menggugat manajemen atau dirinya sendiri. Ketidakhadiran pekerja Pelindo II bukan Karena pihak tergugat, melainkan manajemen JICT yang tidak melakukan perintah kerja (ploting).

“Kerugian materil yang diklaim manajemen pun tidak berdasarkan bukti dan fakta. Bahkan keterangan para Saksi di persidangan tidak satupun mendukung gugatan,” terangnya.

Pihaknya meminta majelis hakim memutus perkara gugatan manajemen JICT secara obyektif berdasarkan fakta-fakta persidangan. Beberapa gugatan perdata dan puluhan laporan pidana kepolisian oleh manajemen JICT terhadap Serikat Pekerja, diduga sebagai upaya sistematis untuk mengaburkan kasus perpanjangan kontrak JICT jilid II (2019-2039) yang dikritisi oleh SP JICT.

Kasus kontrak JICT juga telah menyebabkan kerugian negara Rp4,08 trilyun dan mengancam hilangnya kedaulatan pemerintah akibat ulah pemburu rente, terhadap pengelolaan pelabuhan petikemas nasional terbesar di Indonesia, yang telah dikerjasamakan asing sejak tahun 1999.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka