Demikianlah, buku membawa pengembaraan seorang anak udik-terpencil dengan mentalitas terkepung (under-siege mentality), yang memandang kelainan sebagai ancaman, menjadi seorang dengan mentalitas (relatif) terbuka, bisa melintasi sekat-sekat agama, etnis dan kelas sosial dan memandang keberlainan sebagai anugerah.

Keluasan horizon kehidupan yang diperkenalkan pustaka membuka kemungkinkan pergaulan lintas kultural. Dari pergaulan lintas kultural bisa dipetik pembelajaran, bahwa kebaikan itu bukan monopoli suatu golongan.

Begitu pun keburukan, tidak bisa ditudingkan ke arah golongan yang lain. Setiap komunitas memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Tugas kepahlawanan adalah merajut kemanusiaan dan kebangsaan dengan mengawinkan elemen-elemen positif dari setiap komunitas lewat proses penyerbukan silang budaya.

Politik memainkan peran penting dalam mengambil sisi konstruktif dari proses penyerbukan silang budaya ini. Sungguh beruntung, desain politik Indonesia dalam memulai pendirian Negara ini telah mengambil pilihan yang tepat. Negara Indonesia adalah negara persatuan yang didirikan secara gotong royong dengan mengatasi paham perseorangan dan golongan.

Dalam ungkapan Bung Karno, “Kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua!”

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid