Seperti penuturan Tan Malaka, salah seorang perintis kemerdekaan Indonesia, dalam bukunya bertajuk Catatan-Catatan Perjuangan (1946-1948), pada waktu masih zaman penjajahan Belanda Tan Malaka suatu ketika pergi ke stasiun kereta api Manggarai, melihat beberapa lokomotip kereta api dan diesel yang mulanya dia sangka buatan Belanda. Ternyata buatan Amerika dan Jerman.

Dari situ Tan Malaka mendapat ilham. Ternyata Belanda di negeri kita cuma tukang mesin, bukan perancang atau pembuat mesin alias seorang industrialis kayak Inggris dan Amerika.

Dari situ Tan berkesimpulan Belanda yang menjajah kita, bukan sebagai negara yang sudah canggih industrinya. Melainkan cuma sebagai pedagang belaka. Istilah Tan Malaka, sekadar sebagai Tauke Kecil. Bukan negara berbasis industri yang berkemampuan mencipta seperti Inggris, Jerman, Amerika dan Jepang.

Inilah yang membentuk watak penjajahan Belanda di Indonesia. Sekadar merampok bahan bahan mentah dan bahan baku, membawanya ke negerinya, lalu menjualnya kepada negara negara industri yang jauh lebih mapan seperti Inggris dan Amerika.

Ketika membaca tulisan lama Bung Tan ini, saya sontak sadar bahwa sampai sekarang kita masih mewarisi watak sang penjajah, meskipun Belanda sudah hengkang secara fisik dari Indonesia.

Boleh jadi analisis Bung Tan pada 1946 lalu itu masih amat relevan hingga kini untuk menjelaskan betapa sifat dan bentuknya perekonomian Belanda pada perkembangannya telah mempengarhi sifat dan bentuk perekonomian Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga kini.

Apalagi sejak pertengahan abad ke-19, kapitalisme Belanda dan Kapitalisme Inggris semakin bertaut dan bersenyawa bersamaan dengan semakin banyaknya modal-modal Inggris yang ditanam di Indonesia. Penjajahan Belanda di Indonesia, salah satunya untuk membuka pintu Indonesia buat masuknya modal asing. Sehingga Belanda semakin terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global yang dikuasai Inggris dan Amerika Serikat.

Dengan begitu, Belanda sudah dari awal harus patuh pada skema kapitalisme global AS-Inggris yang melarang Belanda membuat kebijakan mendorong proses industrialisasi. Alhasil, semangat dan hasrat perindustrian itu tidak ada pada Belanda, sehingga semangat dan hasrat perindustrian juga tidak tumbuh di Indonesia selama Belanda menjajah Indonesia.

Maka itu tidak heran kalau Indonesia tidak pernah punya kapasitas untuk berproduksi secara mandiri meskipun kita melimpah sumberdaya alamnya. Bahkan sejak zaman penjajahan Belanda, di bumi Sulawesi Selatan mengandung besi. Di Kalimantan Timur, mengandung logam campuran seperti timah, aluminium dan bauxite. Seharusnya dengan modal bahan baku tersebut, sangat sempurna sebagai basis untuk membangun dan mengembangkan industri berat maupun ringan.

foto buat aktual review 31 maret

Sayangnya, semangat kruindenier, atau tauke kecil, masih hidup dalam cara pandang dan pola pikir para pebisnis dan pimpinan nasional kita. Akibat warisan penjajahan Belanda yang tidak didasari etos sebagai industrialis, melainkan etos pedagang kecil.

Selalu lebih mengutamakan hasil daripada proses. Lebih suka mengimpor produk dan barang-barang kebutuhan dari negara lain, daripada berproduksi atas dasar kemandirian. Ingin memperoleh sesuatu dengan mudah, tanpa mau berusah-payah apalagi berani mengambil resiko.

Hendrajit