Ratusan rubu umat muslim salat subuh, dzikir dan bershalawat saat acara Reuni Akbar Alumni 212 di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Sabtu (2/12/2017). Setelah salat subuh berjamaah, agenda kemudian dilanjutkan dengan doa dan dzikir yang dipimpin oleh Saiful Mubarak. Tokoh yang hadir Mantan Ketua MPR Amien Rais, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Presidium Alumni 212 Slamet Maarif, dan Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam Al Khaththath. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Saat kolonial Belanda masih berkuasa di tanah nusantara, muncul gerakan perlawanan dari masyarakat pribumi. Hampir di setiap periode waktu, sejak pertama kali Belanda memulai kolonialismenya di nusantara, maka sejak saat itu gelombang perlawanan terus lahir. Hampir di semua pulau yang kini menjadi provinsi-provinsi di Indonesia, pernah lahir gerakan perlawanan terhadap Belanda. Akibat perjuangan tersebut, Jutaan nyawa dari masyarakat pribumi pun hilang. Semua gerakan perlawanan ini terjadi akibat keserakahan, kesewenang-wenangan, kolonialisme, dan nafsu penguasaan Belanda terhadap manusia dan sumber daya alam di tanah nusantara.

Namun anehnya, pemerintah Belanda saat itu sama sekali tidak mau mengakui kesalahannya. Dalam propaganda-propaganda yang mereka buat, baik itu dalam forum-forum nasional maupun internasional, Belanda cenderung menuduh bahwa munculnya gerakan perlawanan masyarakat pribumi, diakibatkan oleh beberapa orang provokator atau ekstrimis yang ingin meruntuhkan kekuasaan Belanda di tanah nusantara.

Tuduhan Belanda tersebut, pada masa-masa itu kadang dipercaya juga oleh sebagian masyarakat pribumi yang tidak luas pandangan nasionalismenya. Sehingga tak jarang, beberapa masyarakat pribumi ketika itu ada juga yang tidak memihak gerakan perlawanan dari para pejuang kita. Karena bagi mereka, itu hanya gerakan semu, orientasi pribadi, dan biang kekacauan. Sehingga mereka lebih memilih kembali ke sawah, sibuk dengan kesalehan-kesalehan pribadi, dan tak jarang yang kemudian sibuk mencari-cari perhatian kepada Belanda, agar bisa dijadikan pegawai atau gundik-gundik Belanda. Mereka tidak pernah berpikir, bagaimana wajah nusantara di masa depan, bagaimana nasib anak cucu saat hidup dalam jajahan, peduli amat dengan semua bayangan itu. Mereka hanya peduli dengan hidup mereka hari ini, pendek sekali. Sehingga ketika ada orang-orang yang mengajak mereka melakukan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, mereka akan acuh tak acuh, atau bahkan akan mencaci makinya.

Kelompok masyarakat yang demikian, tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Melainkan disebabkan oleh propaganda Belanda, yang menuduh bahwa ada sekelompok provokator dan pengacau di balik gerakan perlawanan masyarakat. Sehingga mengganggu kondusifitas dan ketentraman masyarakat. Padahal, propaganda tersebut tak lain hanyalah bentuk ketidaksadaran Belanda terhadap kesalahan dan kelemahannya sendiri. Belanda tidak berani mengakui kesalahan karena telah menjajah nusantara, sehingga tuduhan-tuduhan keji pun mereka propagandakan. Demi meredakan gejolak perlawanan dari masyarakat pribumi dimasa itu.

Padahal, gerakan perlawanan tersebut bukan disebabkan oleh adanya provokator atau pengacau, melainkan lahir dengan sendirinya. Semua akibat dari situasi psikologi masyarakat yang memang cenderung tertekan dengan semua kebijakan-kebijakan yang dibuat Belanda. Seperti pembungkaman terhadap nalar-nalar kritis masyarakat, juga dikarenakan beban ekonomi masyarakat yang kian terhimpit akibat kolonialisme yang diterapkan oleh Belanda. Semua fakta tersebut, kemudian menginiasi gerakan perlawanan yang kemudian berujung pada hengkangnya Belanda dari nusantara dan lahirlah negara yang bernama Indonesia. Sebagaimana yang telah kita kenal dan kita huni pada hari ini.

#Refleksi

Apa yang pernah terjadi di masa lalu, jika kita bawa kepada realitas hari ini, sebenarnya memiliki kesamaan yang tidak terlalu jauh berbeda. Khususnya pada respon pemerintah terhadap gerakan-gerakan politik yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja, jika dahulu adalah jelas Belanda dan jelas warna kulitnya. Sedangkan sekarang, sudah berbentuk negara kesatuan dan panggung kekuasaan sudah diisi oleh sesama orang pribumi. Dengan warna kulit dan rambut yang sama. Sehingga tidak terlalu tepat memang, jika dikatakan sebagai Belanda. Namun jika kita pelajari secara lebih mendalam, pola menjalankan dan menjaga kekuasaan yang tengah dilakukan oleh rezim hari ini, memiliki banyak kemiripan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Belanda terhadap masyarakat Indonesia.

Landasan atas pandangan saya ini, bisa dilihat dari fakta-fakta berikut ;

Pertama, terjadi penangkapan terhadap sejumlah orang yang kritis terhadap pemerintah. Dengan tuduhan berbagai ragam, ada yang dituduh makar, penyebar ujaran kebencian, dan lain-lain.

Kedua, muncul upaya kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh penggerak aksi 411 dan 212. Khususnya yang telah dialami oleh Al Habib Rizieq Shihab. Dikriminalisasi dengan persoalan yang absurd, sangat tidak jelas fakta dan delik-delik hukumnya.

Ketiga, terjadi pembredelan terhadap media-media online yang berkonten mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Tuduhannya pun macam-macam, penyebar ujaran kebencian, pemecah belah bangsa, dan lain-lain. Padahal jelas, ini telah menciderai kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh konstitusi dan sistem demokrasi yang dianut oleh negara kita.

Keempat, dibuatnya Perppu ormas dan dibubarkannya salah satu ormas Islam. Yang belakangan ormas Islam ini disinyalir turut serta terlibat dalam aksi 411 dan 212.

Kelima, terjadi pemblokiran terhadap akun-akun yang sehari-hari mencerdaskan masyarakat agar kritis terhadap situasi bangsa. Seperti yang dialami oleh akun instagram-nya ustad Abdul Somad. Walaupun hanya bertahan satu hari, tapi tetap tidak bisa dibantah bahwa terjadi upaya pemblokiran tersebut.

Keenam, muncul propaganda-propaganda yang cenderung diskriminatif. Penangkapan admin Saracen dan MCA misalnya. Yang cenderung dibesar-besarkan dengan maksud mendoktrin pikiran masyarakat, bahwa semua kekacauan yang muncul dibangsa ini, akibat ulah orang-orang seperti mereka.

Semua fakta tersebut, tentu tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan Belanda terhadap pejuang-pejuang kita. Rezim hari ini tidak sadar diri, sehingga mereka tidak mau untuk mengakui kesalahannya sendiri. Sehingga kemudian mereka terus berusaha melimpahkan semua kekacauan kepada orang-orang yang peduli terhadap nasib bangsanya. Malangnya, tindakan konyol yang dilakukan oleh rezim ini, ada pula sebagian masyarakat kita yang mendukungnya. Dan ini tentu hasil dari propaganda yang telah dibuat oleh rezim, persis seperti yang pernah dilakukan oleh Belanda untuk meredam gerakan perlawanan kelompok pejuang. Sehingga dalam kolom-kolom sosial media kita, dan juga dalam kehidupan masyarakat kita, terjadilah perdebatan dua sisi. Yang satu mengkritisi pemerintah, sedangkan yang satu lagi sinis terhadap nalar-nalar kritis tersebut.

Padahal jika mau dipelajari secara lebih mendalam, semua gerakan politik yang timbul dimasyarakat hari ini. Tak lain adalah disebabkan oleh kelemahan dan ketidakcakapan dari pemerintah sendiri. Naiknya harga BBM, yang kemudian dibarengi dengan kenaikan harga bahan pokok. Besarnya jumlah hutang, yang kata INDEF sudah tembus 7000 triliun. Masuknya ribuan pekerja asing asal China. Ketidakseimbangan Hukum, contoh ramainya OTT pejabat-pejabat daerah dengan nilai hanya puluhan juta, sementara kasus-kasus korupsi yang nilainya puluhan triliun pelakunya tidak kunjung tertangkap. Impor beras dan impor garam, padahal petani-petani kita di beberapa daerah memiliki stok beras dan garam yang surplus ratusan ribu ton. Kemudian ketidakluwesan Pak Jokowi dalam komunikasi kepada publik, wawancara internasional dengan bahasa Inggris yang kurang cakap, mengomentari persoalan-persoalan yang sederhana tapi bahasanya susah dimengerti, seperti saat komentari film Dilan itu. Lalu kocar-kacirnya pernyataan-pernyataan politik diinternal kabinet.

Dan sederet ketidakcakapan lainnya yang kemudian itu menyisakan kekecewaan dalam psikologi masyarakat dan mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat, sehingga lahirlah gerakan politik masyarakat, ada aksi mahasiswa kasih kartu kuning, demonstrasi mahasiswa, demonstrasi masyarakat, muncul pernyataan-pernyataan kritis dari masyarakat, dan juga muncul gerakan atau wacana mempensiunkan atau menganti presiden pada 2019. Semua ini bisa terjadi, sekali lagi tentu karena ulah pemerintah sendiri. Namun malangnya, sampai hari pemerintah tak kunjung tahu diri!

Jakarta, 23 Maret 2018

Oleh : Setiyono (Pengkaji Sejarah, Hukum dan Demokrasi)