Jutaan umat muslim memenuhi lapangan Monumen Nasional saat melakukan aksi bela islam III di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Jumat (2/12/2016). Jutaan pendemo berbondong-bondong berjalan menuju lapangan silang Monas untuk melakukan doa dan salat Jumat bersama dengan mengusung tema "Tangkap Ahok Si Penista Al Quran. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam memiliki catatan tersendiri dalam sejarah Indonesia. Sejumlah ormas Islam didirikan beriringan dengan lahirnya tradisi berorganisasi di Hindia Belanda pada pra kemerdekaan.

Sebutlah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) dan Al Irsyad. Bahkan, Serikat Islam (SI) merupakan organisasi yang menjadi alat perlawanan kaum bumiputera terhadap pemerintah kolonial.

Namun, tampaknya generasi saat ini telah menjadi generasi ahistoris yang tak mengenal sejarah mereka sendiri.

Ketua Umum Komite Nasional Rakyat Indonesia Menggugat (Komnas RIM), Effendi Saman menilai jika saat ini terdapat pergeseran pandangan masyarakat mengenai gerakan Islam.

Dalam beberapa tahun belakangan, kata Effendi, gerakan Islam seolah menjadi ancaman bagi masyarakat. Selama empat tahun kepemimpinan Joko Widodo, gerakan Islam yang cenderung kritis terhadap pemerintah justru dianggap sebagai ancaman bagi kesatuan dan ketahanan bangsa.

Hal ini bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi sekitar satu abad yang lampau. Saat itu, Islam menjadi pemersatu bangsa, bukan dianggap ancaman bagi persatuan dan kesatuan seperti saat ini.

“Hari ini sebagian orang menganggap ada gerakan Islam sebagai ancaman,” ucap Effendi dalam diskusi bertajuk ‘Mengurai Tantangan Tatangan Ketahanan Nasional Menjelang Pemilu 2019’ di Jakarta Pusat, Selasa (17/7).

Padahal dalam era SBY, Presiden sebelum Jokowi, kata Effendi, masyarakat tidak merasakan gejolak-gejolak yang tajam dari gerakan Islam. Tak ada upaya untuk mengkonstruksi gerakan atau ormas Islam sebagai ancaman.

Hal ini disebutnya telah memuncak pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun lalu.

Dengan demikian, Effendi berharap agar masalah ini tidak berkepanjangan dan tajamnya perbedaan yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta 2017 tak terulang pada masa yang akan datang.

Terlebih, tahun depan terdapat hajatan demokrasi yang untuk pertama kali mengadakan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) secara berbarengan.

Ajang pesta rakyat lima tahunan itu diharapkannya berjalan dengan aman dan damai.

“Kita berharap agar setelah Pilpres 2019 demokrasi akan tumbuh subur dan tidak akan ada pertentangan agama dan lain sebagainya,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan