Jika saat ini pemerintah Indonesia cq Kementerian ESDM berani melawan arah kebijakan Freeport McMoran, barang tentu harus ktia beri apresiasi dengan harapan ini merupakan titik awal yang cukup bagus ke depannya.

Sebab kalau kita buka kembali tumpukan berita lama, sepertinya Freeport tidak punya itikad baik. Hal ini terungkap ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 2009 berhasil mengeluarkan UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, pada awal 2014 sudah mencapai tenggat waktu dan harus segera diberlakukan.

UU No 4 tahun 2009 ini sebenarnya sudah sejalan dengan jiwa dari pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan bahwa  cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Dan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sayangnya, bersamaan dengan berakhirnya tenggat waktu dilaksanakannya UU tersebut, kemudianpada Januari 2014  Presiden SBY memerintahkan menteri ESDM untuk mengeluarkan  Peraturan Pemerintah nomor 01 tahun 2014 yang merupakan tindaklanjut dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Dalam kenyataannya, PP No 1/2014 bukan untuk menindaklanjuti, melainkan dibuat untuk menjegal dan melumpuhkan ruh dari UU tersebut.

Pada April 2014, tepatnya beberapa bulan setelah keluarnya Peraturan Pemerintah nomor 01 tahun 2014 yang seharusnya merupakan petunjuk pelaksanaan jiwa dari Undang-Undang Minerba no 4 tahun 2009, secara tiba-tiba Kementerian ESDM mengeluarkan rekomendasi izin ekspor kepada dua perusahaan tambang asing PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Bahkan pada perkembangannya kemudian,ada tiga perusahaan tambang lainnya yang akan diberikan rekomendasi oleh Kementerian ESDM yaitu PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), PT Lumbung Mineral Sentosa, serta PT Damar Narmada Bakti.

Dari rentetan kejadian ini jelaslah sudah bahwa Freeport tidak punya itikad baik untuk menaati pemberlakuan UU No 4/2009. Padahal, Menteri Koordinator Perekonomian saat itu Hatta Rajasa maupun Menteri ESDM dalam keterangan persnya 11 Januari 2014 telah menegaskan bahwa dalam rangka untuk meningkatkan nilai kedua sektor tersebut, maka  terhitung sejak 12 Januari 2014, mulai diberlakukannya Undang-Undang no 4/2009, tidak lagi dibenarkan untuk mengekspor mineral mentah tanpa melalui pabrik pengolahan (smelter) terlebih dahulu.

Kenapa PP No 1/2014 tetap memberi hak istimewa kepada Freeport padahal PP tersebut sebenarnya juga sejalan dalam penegasannya bahwa semua perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor mineral dan batubara untuk membangun smelter (pabrik pengolahan), sebagai prasyarat agar perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor tersebut mendapat izin ekspor. Sehingga PP No 1/2014 tersebut malah jadi pintu masuk untuk mempertahankan monopoli Freeport dalam penguasaan tambang di Indonesia.

Kalau kita coba kilas balik, pemerintahan SBY kala itu sepertinya mendapat tekanan yang cukup kuat dari Washington. Menurut informasi dari sumber Aktual, pada Februari 2014, terjadi pertemuan antara Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa dengan Menteri Luar Negeri AS John Kerry. Dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Kerry mendesak Natalegawa untuk tidak melakasanakan UU No 4/2009. Menlu Kerry mengancam bahwa kalau Jakarta tidak setuju memberi monopoli kepada Freeport dan Newmont, maka Amerika tidak akan investasi lagi di Indonesia.

Agaknya, inilah yang melatarbelakangi tidak adanya itikad pemerintah Indonesia untuk menjalankan UU minerba tersebut. Terlebih-lebih lagi, pihak Freeport memang bermaksud dengan berbagai cara untuk menggagalkan penerapan UU minerba tersebut.

Parahnya lagi, dengan pemberian monopoli kepada Freeport dan Newmont tersebut, berarti pula pemerintah Indonesia dengan sadar memberikan hak-hak istimewa kepada kedua perusahaan asing tersebut untuk melanggar dan menabrak UU No 4/2009.

Inilah yang mendasari berbagai kalangan pemangku kepentingan sektor energi untuk berharap kiranya pemerintahan baru berikutntya setelah era SBY, agar terus melaksanakan dan mengembangkan semangat pasal 33 UUD 1945 yang tercermin dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara No 4/2009  tersebut,

Penyikapan pemerintah kita saat ini memang jadi maha penting, mengingat pertaruhan besar Amerika untuk tetap menguasai sektor tambang di bumi Papua.

Desakan kalangan korporasi global di Washington untuk memperpanjang kontrak karya Freeport barang tentu tak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional AS untuk menguasai sektor energi/migas maupun tambang batubara. Seiring dengan doktrin mantan Menteri Luar Negeri Henri Kissinger: “Jika anda menguasai sektor energi dan migas, maka anda menguasai negara. Jika anda menguasai sektor pangan dan pertanian, maka anda menguasai kehidupan rakyat.” 

Maka Papua, jadi pertaruhan besar bagi AS untuk dipertahankan karena kaya akan kandungan sumberdaya alam di bidang energi dan tambang batubara. Bukan itu saja.
Sebagai pemasok sumberdaya alam, Indonesia dipandang menguntungkan bagi pengembangan industri Amerika Serikat. Diperkirakan hingga kini sudah lebih dari 300 perusahaan milik AS yang beroperasi di Indonesia, yang sebeagian besar dana investasinya ditanam pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan energi.
Di sinilah Papua sebagai salah satu daerah penghasil sumberdaya alam di Indonesia, jadi amat penting bagi AS. Bukti nyata adalah beroperasinya beberapa perusahaan pertambangan dan energi AS di Papua seperti: PT Freeport McMoran, Conoco Philips, dan British Petroleum.
Sungguh berat tugas pemerintah cq Kementerian ESDM untuk mengembalikan daulat energi ke pangkuan ibu pertiwi. Namun tiada lain kecuali berupaya dan berjuang semaksimal mungkin. Tidak saja dari pemerintah, tapi tentunya dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan energi dan masyarakat pada umumnya.
Hendrajit, Pemimpin Redaksi