Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa tak bersalah dengan kebijakannya melahirkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pembubaran Ormas. (ilustrasi/aktual.com)

Dalam Permainan Catur Politik Tingkat Tinggi Pasca Penetapan Setnov Sebagai Tersangka, Jokowi Hanya Sekadar Papan Catur

Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus E-KTP bakal memanaskan tensi perpolitikan nasionaol dalam beberapa waktu ke depan. Selain kenyataan bahwa Setnov merupakan Ketua DPR-RI, penetapan dirinya sebagai tersangka bisa dipastikan akan semakin kuat dorongan Pansus Angket DPR untuk menginvestigasi seluruh kiprah dan tindak-tanduk KPK selama ini dalam kebijakannya terkait pemberantasan korupsi.

Namun, benarkah penetapan Setnov sebagai tersangka mega proyek E-KTP hanya sekadar konflik kepentingan antara DPR-RI versus KPK? Agaknya, lingkup dari eskalasi konflik bisa lebih meluas daripada sekadar konflik kelembagaan antara DPR versus KPK. Terungkapnya dana bantuan dari KPK sebesar Rp 90 miliar kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) telah membuka sebuah tabir yang selama ini hanya sekadar di tataran sinyalemen dan menduga-duga.

Betapa terungkapnya dana bantuan KPK kepada ICW, telah menggambarkan adanya sebuah klan politik dan jejaring politik yang cukup luas dan rumit, yang pada perkembangannya telah menembus dan merasuki daerah jantung kekuasaan pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu Kantor Staf Kepresidenan.

Ada apa dengan Kantor Staf Kepresidenan? Lembaga baru yang dibentuk di awal masa pemerintahan Presiden Jokowi itu semula dibawah pimpinan Luhut Binsar Panjaitan, namun karena jenderal berbintang tiga tersrebut dialihtugaskan menjadi Menteri Koordinator Politik-Hukum-Keamanan dan bahkan kemudian menjadi Menko Kemaritiman, tampuk pimpinan Kantor Staf Kepresidenan beralih ke tangan Teten Masduki.

Teten Masduki, selain di era Orde Baru merupakan salah satu aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan aktivis perburuhan, di era reformasi Teten menjadi salah seorang motor peggerak gerakan anti korupsi di Indonesia, yang kemudian bermuara pada berdirinya ICW.

Namun di balik berdirinya ICW ada banyak tokoh-tokoh LSM dan pro demokrasi yang terjalin melalui ikatan perkoncoan atau perkawanan, yang mana pada tataran ini pengusaha migas kondang Arifin Panigoro, merupakan salah satu yang dari awal menjalin ikatan dengan jejaring politik yang mana ICW merupakan salah satu posko untuk menyusun koordinasi dan komunikasi politik.

Hanya saja, para pemain yang aktif tergabung dalam jejaring yang bermain sektor LSM berbagai bidang kegiatan dan lahan binaan ini, hanya para aktor yang  bertugas mengolah dan menggodok isu untuk digulirkan kepada publik maupun media massa.

Tak heran jika jejaring politik ini mendapat dukungan solid dari basis perguruan tinggi dan kaum cendekiawan kota yang berhaluan neoliberal/sosialis democrat, pelaku media dan LSM itu sendiri.

Isu yang dipandang mereka cukup strategis untuk kemudian diolah sebagai amunisi menyusun agenda-agenda strategis di bidang politik dan ekonomi, adalah isu korupsi. Apalagi di era pasca reformasi, merebaknya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) di era pemerintahan Suharto menjadi isu sentral hampir semua kalangan media massa dan para pemuka masyarakat.

Sehingga skema rekayasa politisasi korupsi yang secara sistematis dan terencana digulirkan melalui ICW, mendapatkan momentum dan lahan subur untuk dipropagandakan ke berbagai lapisan masyarakat melalui media massa yang merupakan satelit dari jejaring politik tersebut.

Padahal, di tataran lapisan yang lebih tinggi dari jejaring ini, mulai menyiapkan suatu kelompok inti politik dalam rangka menyiapk sebuah formasi politik pasca Pemilu 1999. Arifin Panigoro bermain di PDIP dan merapat kepada Megawati Sukarnoputri yang kala itu merupakan tokoh sentral tak tertandingi di PDI Perjuangan. Amien Rais dan Hatta Rajasa merintis berdirinya Partai Amanah Nasional (PAN).

Fahmi Idris dan Marzuki Darusman tetap seperti di era Suharto, memperkuat posisi sebagai para pemain kunci di Partai Golkar. Osman Sapta Odang kelak bermain di Dewan Perwakilan Daerah. Hamzah Haz, yang merupakan salah satu figur sentral Politisi NU dan Pentolan Kelompok Cipete yang identik dengan kubu alm Kyai Idham Kholid, berkiprah di PPP. Dan SBY, yang kala itu masih perwira tinggi TNI-AD aktif, merupakan konseptor strategis di Mabes TNI Cilangkap bersama Panglima TNI Wiranto.

Kartel politik ini dengan segala pasang-surutnya, merupakan kelompok berpengaruh dalam mewarnai arah politik pasca reformasi baik di era kepresidenan Abdrurrahman Wahid antara 1999-2001 maupun Megawati antara 2001-2004.

Ketika SBY terpilih jadi presiden hasil Pilpres langsung pada 2004, kelompok inti politik tersebut tidak lagi bergantung pada Gus Dur maupun Megawati, melainkan pada SBY sebagai figur baru dan kekuatan politik baru yang mampu menjadi penyeimbang berbagai kelompok politik yang ada.

Dengan kata lain, kelompok inti yang sejatinya di belakang layer berada dalam kendali pengaruh Ginandjar Kartasasmita dan Arifin Panigoro, mampu tetap menciptakan win-win solution dengan SBY.

Nah, ketika masa jabatan kedua SBY sebagai presiden berakhir, kemudian PDIP mengusung Jokowi sebagai calon presiden, yang kemudian head to head menghadapi Prabowo Subianto sebagai pesaingnya. Maka kelompok inti Ginandjar dan Arifin ini kemudian merapat kepada Jokowi. Membangun suatu lapis kekuatan tersendiri di luar struktur komando PDIP yang berada di bawah kepemimpinan Megawati.

Di sinilah segi yang tidak banyak dibaca atau diketahui banyak orang. Meskipun Jokowi diusung secara resmi oleh Megawati dan PDIP, namun sejatinya sosok Jokowi mendapat resistensi kuat dari internal  kader-kader struktural PDIP. Hanya saja karena Mega yang memang otoritatif dan punya hak veto politik di partai kepala banteng ini, maka para kader struktural tidak bisa berbuat apa apa selain tunduk dan patuh pada ketua umum partai yang kebetulan putrid dari presiden pertama RI Sukarno.

Maka formasi politik pemerintahan Jokowi sejak awal memang jadi rapuh dan terkesan tidak padu sejak awal. Karena secara de fakto Jokowi sejatinya didukung oleh kekuatan-kekuatan ekstra PDIP atau jalur pendukung Mega di luar struktur PDIP yang bertumpu pada Arifin Panigoro dan Pramono Anung, maka kelompok inti ini membangun basis kekuatannya di dua matra. Pertama, menguasai pos Sekretaris Kabinet dan Menteri Sekretaris Negara. Kedua, melalui lembaga baru yang bernama Kantor Staf Kepresidenan.

Di fase awal pemerintahan Jokowi, Mega dan Jokowi masih mencoba menolerir Andi Wijayanto, salah seorang timses Jokowi yang dianggap berjasa dalam ikut merancang cetak biru pemerintahan Jokowi-JK semasa kampanye Pilpres.

Selain itu, Mega memandang dan menghargai jasa alm ayahnya Andi yaitu Letjen Theo Syafei yang merupakan kader PDIP dan pendukung Mega sejak masih di era Suharto. Namun karena begitu gaduhnya pemerintahan Jokowi ketika Andi Wijayanto jadi sekretaris kabinet, maka Andi kemudian dicopot dan digantikan oleh Pramono Anung.

Sejak tahapan inilah, jejaring Arifin Panigoro dan Ginandjar Kartasasmita semakin menguat dan terkonsolidasi di daerah jantung pemerintahan Jokowi. Pramono Anung selain junior Arifin di ITB Bandung, sebelum ke politik, Pram juga aktif bergiat bisnis di sektor perminyakan seperti halnya Arifin yang merupakan big bos-nya Medco.

Mensesneg Pratikno, mantan Rektor UGM Jogjakarta, selain memang sudah cukup akrab dan solid dengan Jokowi semasa masih kuliah di UGM, juga dipandang sebagai teknokrat murni yang tidak punya agenda politik atau kelompok politik yang membahayakan jejaring politik Arifin dan Pram di lingkar dalam kekuasaan Jokowi.

Kekuatan jejaring politik ini semakin menguat dengan pergantian ketua Kantor Staf Kepresidenan dari Luhut Panjaitan kepada Teten Masduki. Eksponen LBH Jakarta dan ICW. Dengan demikian jejaring politik Arifin, Pram dan Teten semakin solid memagari lingkar inti kekuasaan Jokowi.

Sementara Luhut, meskipun tidak lagi jadi Ketua Kantor Staf Kepresidenan, tetap memberikah arahan kebijakan strategis kepada Teten dan mesin-mesin penggerak Kantor Staf Kepresidenan yang sejak awal sudah merekrut beberapa lulusan Universitas Harvard.

Adapun konektivitas Arifin Panigoro dan Luhut sudah terjalin lama sebagai sesama aktivis Bandung. Pada 1966 Arifin Panigoro termasuk salah seorang aktivis anti komunis yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mendesak pembubaran PKI dan kalau perlu menggusur Bung Karno dari tampuk kekuasaan.

Sementara Luhut, waktu itu tergabung dalam Kesatuan Aksi Pelajar-Pelajar Indonesia (KAPPI). Namun yang tidak kalah penting, ayah kandung luhut waktu itu aktif di Stanvac, yang kelak merupakan cikal bakal Medco ketika di bawah kepemimpinan Arifin Panigoro.

Namun pada saat yang sama, ada skema lain di luar kelompok dan jejaring politik Arifin-Pram ini. Yaitu skema koalisi lintas-partai yang bertumpu pada ikatan politik Wapres Jusuf Kalla dan Megawati. Inilah kekuatan yang membayang-bayangi skema politik Arifin-Pram-Teten.

Dalam situasi pasca penetapan tersangka terhatap Setnov, maka medan tempur alias ring tinju dari pertarungan dua skema tersebut, akan berlangsung di arena DPR dan kantor kepresidenan. Jika selentingan yang mengabarkan bahwa Rini Sumarno yang saat ini masih menjabat Menteri Negara BUMN akan dialihtugaskan sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan, maka skema Jusuf Kalla-Mega yang bertumpu pada koalisi lintas partai, akan berhasil menembus jantung pertahanan lingar dalam kekuasaan Jokowi yang saat ini dikuasai Arifin-Pram dan Teten.

Maka titik krusial dari permainan catur tingkat tinggi ini akan terlihat ketika DPR pada akhirnya akan memutuskan pembubaran KPK, yang kemudian Jokowi selaku presiden pada akhirnya harus bersikap. Jika Jokowi menolak pembubaran KPK, maka konfrontasi antara presiden versus DPR tak terhindarkan lagi. Pada tataran ini, Jokowi akan menghadapi musuh dari luar tapi juga dari dalam lingkar kekuasaannya sendiri.

Sebab ketika begitu skenarionya, maka sikap konfrontatisi DPR terhadap Jokowi sebagai presiden, hakikinya merupakan pencerminan dari agenda politik Megawati-Jusuf Kalla yang bertumpu pada skema koalisi lintas partai. Bukan sekadar penyikapan umum dari para anggota DPR dan para pimpinan koalisi parpol.

Berkaitan dengan konstruksi cerita tadi, saatnya bagi rakyat dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, untuk melek politik. Jangan mau dibodohi oleh sepak-terjang para elit politik baik di eksekutif maupun legislatif. Saatnya rakyat punya skema dan skenarionya sendiri.

Hendrajit