Rupiah Melemah, Utang Membengkak

Analis Binaartha, Reza Priyambada  mengatakan adanya anggapan terkait dengan pergerakan imbal hasil obligasi Amerika Serikat yang cenderung meningkat menjadi faktor yang menahan dana asing masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia membuat laju Rupiah masih cenderung melemah.  Padahal sehari sebelumnya, suku bunga acuan Bank Indonesia telah dinaikan 25 bps, sesuai perkiraan sebelumnya.

“Antara pelaku pasar harus menanggapi positif atau kenaikan tersebut dinilai telat setelah laju Rupiah kian banyak terdepresiasi namun, pada kondisi riil nya laju Rupiah tetap melemah,” ujar Reza.

Di sisi lain, masih meningkatnya imbal hasil obligasi AS yang berimbas pada kenaikan USD membuat laju Rupiah kian melemah.

Pasca dinaikannya suku bunga acuan Bank Indonesia tidak banyak berimbas pada Rupiah. Bahkan, pernyataan positif dari Menkeu pun dimana hasil dan kinerja sampai Mei menunjukkan APBN yang baik dari sisi pendapatan; perpajakan dan PNBP yang meningkat sangat signifikan dan belanja negara yang tetap terjaga; kemudian defisit yang terus dapat terjaga sesuai undang-undang APBN kurang mampu menahan pelemahan Rupiah.

“Tidak hanya itu, optimisme dalam pertumbuhan ekonomi yang disampaikannya dimana menargetkan angka pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,4-5,8 persen dalam RAPBN 2019 juga belum dapat mengangkat Rupiah,” jelasnya.

Untuk itu, masih dominannya penguatan USD membuat laju Rupiah kembali kehilangan momen untuk terapresiasi.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira mengungkapkan pelemahan nilai tukar rupiah secara langsung akan membengkakkan utang dalam bentuk valas. Pasalnya, utang luar negeri pemerintah mengikuti nilai kurs yang sedang berlaku.

“Akibat pelemahan nilai tukar rupiah, secara jumlah utang Pemerintah terus mengalami pembengkakan hingga mencapai Rp4.180 triliun per April 2018 naik sebesar 13,9% dalam satu tahun terakhir. Secara spesifik Utang luar negeri pemerintah saat ini seharusnya dikisaran Rp2.426 triliun (kurs 13.400) tapi karena selisih kurs kemudian bengkak Rp145 triliun menjadi  Rp2.571 triliun (kurs 14.200),” ujar Bhima.

Selain itu berdasarkan data BI, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo di 2018 mencapai USD9,1 miliar yang terbagi menjadi USD5,2 miliar pokok dan USD3,8 miliar dolar.

“Jika menggunakan kurs 13.400 sesuai APBN maka pemerintah wajib membayar Rp121,9 triliun. Sementara dengan kurs sekarang dikisaran 14.200 beban pembayaran menjadi Rp130 triliun. ada selisih pembengkakan akibat currency missmatch sebesar Rp8 triliun,” tegas Bhima.

Fuad Bawazier menilai target pertumbuhan ekonomi mustahil akan mencapai 5,4 persen. Pasalnya sekarang saja kwartal 1/2018 hanya mencapai 5,06 persen. Kemudian dari target utang yang ada di APBN, penarikan utangnya sampai dengan akhir April 2018 sudah mendekati 50 persen.

“Ini artinya, APBN berjalan praktis dengan topangan utang. Nah, kalau pendapatan baru 16,64 persen saja pada kuartal I/2018, itu sangat jauh dari tradisi kami orang-orang di masa lalu yang minimal pendapatan itu sudah sekitar 20 persen pada kuartal I. Sekarang ini, jika kuartal I saja baru seperti itu maka target pajak tidak akan tercapai,” jelasnya.

Selanjutnya, ekspor sudah mengalami defisit 1,6 miliar dolar AS, pertumbuhan penerimaan pajak hanya 10,3 persen. Hal itu amat jauh dari kemampuan penerimaan pajak dulu untuk bisa mengejar target APBN. Karena APBN yang paling penting itu adalah tax ratio.

“Tax ratio RI ditargetkan oleh pak Jokowi sampai 16 persen sampai 2019, lha sekarang saja masih dibawah 11 persen,” ujar Fuad.

Defisit APBN memiliki batasan maksimum 3 persen dari APBN menurut ketentuan Undang-Undang seharusnya dicatat berdasarkan accrual basis.

“Dugaan saya. Yang dicatat beberapa pos itu berdasarkan cash basis, bukan accrual basis. Yaitu dengan cara menunda pembayaran-pembayaran tertentu, misalnya tagihan ke Pertamina, kan banyak itu hutangnya. Lalu ke PLN, ada beberapa tagihan itu ditunda (pembayarannya). Seharusnya, walaupun ditunda mesti dicatat. Ini yang dicatat kalau sudah dibayar (cash basis). Itu saya duga cara pemerintah menutupi defisit APBN dengan mengecilkan kewajiban yang mestinya dibayarkan. Dalam bahasa accounting namanya window dressing,” jelas Fuad.

Untuk itu, dirinya meminta DPR maupun BPK harus mewaspadai hal window dressing itu. Karena hal itu diduga untuk menutupi angka defisit APBN yang sebenarnya supaya tidak melampaui batasan maksimum defisit. Subsidi Pertamina dan PLN pada akhir tahun akan makin membengkak, jika pemerintah tidak kunjung membayar tagihan. Akibatnya kedua BUMN itu makin megap-megap.

 

[pdfjs-viewer url=”http%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2FAktual_22-Mei-2018_Rupiah-Terpuruk-Utang-Menumpuk.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka