Rupiah masih terpuruk. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Rupiah sedikit lagi akan tembus di angka Rp15.000 per USD. Pada penutupan perdagangan Rabu (5/9/2018) sore, berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup di posisi Rp14.938 per USD. Tak hanya rupiah yang mengkhawatirkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mengalami keanjlokan 3,75 persen atau 221,8 poin akibat tekanan terhadap rupiah, dan belum jelasnya kondisi perekonomian global akibat perang dagang.

Begitulah gambaran kondisi mata uang negara yang baru saja sukses menyelenggarakan Asian Games 2018 ini. Terpuruk dalam 20 tahun terakhir, dimana di tahun 1998 mata uang NKRI juga pernah terperosok di angka Rp16.650 per USD sehingga menyebabkan Indonesia saat itu mengalami krisis moneter (krismon) dan menjadi penyebab turunnya Presiden Soeharto setelah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun.

Lantas perlukah kita mengkhawatirkan kondisi rupiah saat ini dan menyamakan seperti kondisi tahun 1998? Menurut Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual bahwa tak bisa disamakan, karena kondisinya yang jelas berbeda. Pada 1998, rupiah mengalami terjun bebas, dimana setahun sebelumnya rupiah di kisaran Rp2.000-Rp2.500 per USD anjlok hingga 254 persen di level Rp16.650 pada Juni 1998.

“Pelemahan rupiah tahun ini, dibandingkan 1998 yang anjloknya dari Rp2.500 secara tiba-tiba ya sangat jauh ya. Selain itu, waktu itu juga tidak ada kenaikan gaji sehingga daya beli masyarakat menurun dan harga-harga melonjak tinggi,” kata David dikutip, Selasa (4/9/2018).

Sedangkan kondisi saat ini, meskipun adanya pelemahan hingga 11 persen sepanjang lebih dari satu semester 2018, tetapi tahun ini juga diiringi dengan kenaikan gaji dan harga-harga yang cukup terjaga.

Hal senada juga diuraikan oleh Ekonom Bank Permata, Josua Pardede bahwa kondisi ekonomi saat itu sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Menurut dia, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati. Bank Indonesia (BI) juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.

“Pengelolaan yang lebih baik dari utang luar negeri swasta terlihat dari pertumbuhan utang jangka pendek yang cenderung rendah. Dalam jangka pendek, BI akan tetap mengelola stabilitas nilai tukar rupiah dengan melakukan dual intervension di pasar valas dan pasar obligasi,” ujarnya.

Namun pantaskah kita menganggap kondisi ini masih tergolong aman bagi stabilitas perekonomian Indonesia? Menurut Ekonom yang juga Manta Menko Ekuin era Presiden Gusdur, Rizal Ramli bahwa status perekonomian Indonesia sudah berada di lampu kuning atau harus berhati-hati. Dasar pernyataan tersebut kata dia dari sejumlah indikator ekonomi makro menunjukan tanda negatif. Yakni defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan, keseimbangan primer yang masih negatif, hingga defisit APBN.

“Fundamental tidak kuat karena semua indikator itu negatif. Kalau kuat, semuanya mengarah ke arah positif,” ujar Rizal. Rizal turut membandingkan kondisi ekonomi Indonesia waktu krisis tahun 1998 silam dengan saat ini.

Kala itu, meski dilanda krisis, Indonesia mendapat manfaat positif dari melonjaknya peningkatan ekspor yang dampaknya baik untuk mendorong perekonomian dalam negeri. Sementara saat ini, Rizal menilai Indonesia tidak bisa mendapatkan keuntungan sebesar itu dari ekspor. Malahan, impor justru tumbuh lebih tinggi dibanding ekspor yang membuat neraca perdagangan lebih banyak mengalami defisit sejak awal tahun.

“Saat krisis, lonjakan ekspor besar sekali. Tapi hari ini kita tidak punya bantalan lagi. Rupiah melemah tidak ada dampaknya terhadap ekspor,” ucap Rizal.

Sudah Gelontor Puluhan Triliun, Mengapa Rupiah Masih Lemah?

Halaman selanjutnya…