Tokoh Nasional Rizal Ramli menyerahkan secara karangan bunga kepada Kepala Biro Humas dan Protokol MK, Rubiyo sebagai bentuk dukungan kepada dua Hakim Konstitusi, Saldi Isra dan Suhartoyo terkait perbedaan pendapat atau dissenting opinion uji materi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) di Gedung Mahakamah Konsitusi, Jakarta, Kamis (12/7). Rizal Ramli berpendapat ambang batas pencalonan presiden, bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, dalam UUD 45 dijelaskan bahwa, siapapun bisa menjadi presiden selama mendapat usungan partai politik (parpol). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Ekonom senior Rizal Ramli, meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengubah aturan presidential treshold dalam pemilihan presiden. Pasalnya, aturan tersebut telah menghianati Undang Undang Dasar 1945.

“Dalam UUD 1945, sistem pemilihan presiden adalah presidensial. Artinya, tidak ada batas persentase, tidak ada ambang batas, dan yang penting di dukung oleh partai pengikut pemilu,” ucap Rizal dalam orasinya di Gedung MK, Jakarta, ditulis Jumat (13/7).

Mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengatakan, aturan presidential treshold dengan ambang batas 20 persen, adalah penipuan kepada rakyat Indonesia.

Dijelaskan Mantan Menko Kemaritiman itu, ambang batas 20 persen merupakan hasil pemilihan presiden pada 2014, yang akan digunakan untuk Pilpres 2019.

“Pada waktu itu, rakyat tidak diberi tahu bahwa mereka memilih untuk digunakan angkanya buat pilpres tahun 2019. Jadi, cara tersebut adalah penipuan massal yang disengaja dan juga sebenarnya merupakan kesengajaan oleh yang pembuat undang-undang dan kebijakan. Mereka patgulipat sekedar untuk mempertahankan kekuasaan dan status quo,” ungkap Rizal.

Dalam demokrasi, jelas Rizal, evaluasi dilakukan lima tahun sekali. Namun, Rizal mengaku heran dengan aturan ambang batas 20 persen, yang akan digunakan untuk pilpres 2019.

“Angka 20 persen dipakai berdasarkan lima tahun yang lalu? Seharusnya lima tahun terakhir ini dievaluasi,” ungkapnya heran.

Selain itu, Rizal mengaku heran dengan sistem yang digunakan dalam demokrasi di Indonesia, yakni sistem presidensial.

Rizal mengungkapkan, aturan presidensial yang diketahuinya adalah, memilih presiden terlebih dahulu, baru memilih anggota parlemen. Namun pada kenyataannya, Indonesia tidak mengikuti aturan tersebut, justru memilih anggota legislatif dahulu baru kemudian memilih presiden.

“Jadi, sistem presidensial sangat kuat, sehingga tidak perlu berdagang sapi dengan partai-partai di DPR. Ada partai mengusulkan menteri koruptor, ada pula yang mengusulkan menteri tidak becus dan presiden harus menerima mereka dalam sistem parlementer yang hari ini berlangsung di Indonesia. Di Undang Undang Dasar jelas sistem politik kita presidensial, tetapi ternyata pelaksanaannya parlementer,” jelasnya.

Artikel ini ditulis oleh: