Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Noviandri mengungkapkan dalam PKB Pertamina pasal 7 ayat (7) bahwa Federasi mempuyai ruang memberikan kajian dan masukan untuk mempertahankan kelangsungan bisnis perusahaan. Hal itu terkait terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri BUMN Nomor 039/MBU/02/2018 tentang Pemberhentian, perubahan Nomenklatur jabatan dan pengalihan tugas Anggota-anggota Direksi Pertamina. Perubahan nomenklatur tersebut memicu permasalahan di unit bisnis Pertamina. Pasalnya, SK penambahan satu jajaran direktorat hampir menghabiskan anggaran uSD1 juta selama satu tahun.

“Pernyataan Ibu Menteri BUMN menyesatkan jika nomenklatur bisa meningkatkan GCG lebih efisien. Malah ini justru akan menimbulkan inefisiensi dan ini sangat bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo,” kata Presiden FSPPB, Noviandri.

Atas sikap serikat pekerja pertamina tersebut, beberapa pihak menilai FSPPB “crossline” atau melampuai tugas dan fungsinya. Serikat Pekerja menilai pihak-pihak tersebut tidak paham tentang Pertamina.

“Kalau dilihat dari segi kepentingan pekerja ini tentunya keputusan ini sangat baik, karena ruang pembinaan bagi pekerja menjadi lebih, tapi bagi Federasi kelangsungan bisnis perusahaan untuk kepentingan bangsa dan negara ini jauh lebih penting dari kepentingan pekerja. Untuk apa pekerja sejahtera tapi perusahaan tidak efisien, boros yang pada akhirnya merugikan bangsa ini,” terangnya.

Statement Menteri BUMN yang siap menghadapi gugatan FSPPB ini adalah bentuk arogansi dan kekerasan hati, bapak Presiden saja sudah menerbitkan PP dan kemudian ada masukan yang lebih baik, beliau tidak malu untuk mencabutnya. Federasi siap bila ruang diskusi dan komunikasi dilakukan tapi pihaknya pesimis hal ini bisa terjadi, karena selama ini komunikasi melalui pesan singkat saja tidak digubris oleh Menteri BUMN.

“Sumber masalah ada di Menteri BUMN Rini Soemarno, Direktur Utama Pertamina malah tidak tahu menahu soal ini,” kilahnya.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Herman Khaeron mengungkapkan perubahan jajaran direksi Pertamina yang terlalu cepat bisa membuat performance perusahaan menjadi tidak baik. Seharusnya, menteri Rini mempertimbangkan lebih matang keputusan yang menyangkut BUMN penguasa hajat orang banyak.

“Kalau nomenklatur berubah-ubah, direksi berubah-ubah kapan perusahaan BUMN itu bisa settle. Justru jangan sampe perubahan yang ekstrem ini membuat performance perusahaan BUMN ini menjadi tidak baik. Itu yang semestinya dipertimbangkan ulang oleh bu Rini. Jangan serta merta direksi diubah, merubah nomenklatur tanpa mempertimbangkan performance-nya perusahaan,” jelasnya.

Pemilik saham Pertamina memang ada di kementerian BUMN, keputusan tentunya ada ke di Menteri BUMN Rini Soemarno. Tentu sudah semestinya menteri Rini sebelumnya mendapat pertimbangan dan masukan dari Direksi Pertamina, Serikat Pekerja, DPR atau pemerhati Migas.

Idealnya, Direktur pertamina bisa bekerja maksimal dalam waktu lima tahun, kecuali performance kurang baik bisa dievaluasi kembali. Namun itu domainnya menteri BUMN sebagai mandatory pemegang saham negara, tentunya sebelum melakukan hal tersebut, sudah melalui konsultasi yang panjang dengan berbagai pihak.

“Saran saya, jika tidak ada hal-hal yang kruasial maka berikan ruang yang cukup buat direksi untuk bekerja secara maksimal,” tegasnya.

Agar direktur Pertamina bisa bekerja maksimal, tergantung berbagai faktor. Perubahan nomenklatur tingkat direksi berarti perubahan lingkup kerja dan tanggung jawab masing masing direktur. Pada umumnya itu dilakukan secara gradual hasil evolusi pengalaman operasional dan selalu didahului dengan proses suatu kajian yang melibatkan ahli organisasi dan pelaku berpengalaman yang juga akan sudah menyusun susunan struktur organisasi sampai paling tidak dua tingkat dibawahnya.

“Proses itu bisa makan waktu beberapa bulan. Kalau proses itu dilalui, maka secara organisasi direksi pasti sudah akan melakukan persiapan dan penyesuaian yang diperlukan, dengan demikian dengan susunan baru tersebut direksi akan langsung bisa bekerja maksimal dan optimal,” ujar Ari Soemarno.

Namun itupun kalau susunan direksinya terdiri dari individu yang berpengalaman dan berkemampuan dalam bidangnya.
Ari menilai perubahan nomenklatur direksi Pertamina tempo hari adalah suatu perubahan nomenklatur yang signifikan di Pemasaran, Niaga dan Distribusi dengan merubah filosofi dan konsep dasar sistim operasional.

“Perubahan nomenklatur tidak didahului oleh suatu proses atau kajian yang komprehensif dan tidak mengikuti sertakan ahli organisasi yang memahami. Sangat terlihat dilakukan secara instan oleh yang tidak punya pemahaman yang baik,” jelasnya.

Nyata terlihat adanya ketimpangan besar lingkup tugas dan tanggung jawab dari direktorat yang baru. Satu direktorat memiliki lingkup luar biasa besarnya sedangkan dua lainnya di struktur sebelumnya cukup dilakukan level Senior Vice Presiden atau bahkan level lebih rendah lagi (vice Pres).

Tidak heran kalau Dirut bingung dan kecewa karena dia tidak dilibatkan, tapi menyangkut direktorat yang menghasilkan 70% revenue dan 60 % profit Pertamina. Apalagi individu yang ditunjuk untuk jadi direktur di direktorat yang terbesar itu tidak punya pengalaman sebelumnya di sektor migas maupun dalam pemasaran, niaga ataupun distribusi migas sama sekali.

“Di kondisi seperti itu, akan perlu waktu sangat lama (kalaupun bisa) dimana direksi dapat bekerja secara maksimal,” jelasnya.

Namun, kembali lagi ke pokok masalah. Nomenklatur dan perubahan jajaran direksi Pertamina sepenuhnya ada di kementerian BUMN. Menteri BUMN, Rini Seomarno sebagai mandatory pemegang saham negara pastinya telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak. Padahal Ari Soemarno, merupakan kakak kandung dan sekaligus mantan Dirut Pertamina.

“Saya (bersikap) profesional dan selalu menjadi tujuan agar Pertamina bisa maju,” pungkasnya.

Selanjutnya, … Elisa Masa Manik Melawan…

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka