Sayang sekali apabila kita menampik masa depan, hanya demi semangkuk masa lalu yang sudah basi.

(Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan).

 

Tujuh juta atau sepuluh juta warga Muslim yang tumpah-ruah di Monas, bukan inti soal untuk diperdebatkan dalam menilai bobot  hajatan reuni para eksponen Aksi Bela Islam yang bermula pada 4 November yang kemudian disusul 2 Desember 2016 untuk melengserkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama. Bukan kuantitas melainkan kualitasnya.

Setidaknya Aktual punya beberapa catatan penting yang kiranya menarik buat kita kaji bersama. Pertama. Alumni 212 sejatinya masih tetap kompak dan solid sebagai People Power. Menariknya lagi, soliditas dan kekompakan para alumni dan eksponen penggerak Aksi Bela Islam yang dimulai sejak 4 November dan 2 Desember 2016 justru semakin terorganisasi dan berdisiplin ketika para aktivis maupun politisi partai/ormas tidak ikut cawe-cawe dengan segala kepentingan dan agenda-agenda tersembunyinya.

Kedua. Meskipun resminya hajatan Minggu 2 Desember lalu merupakan reuni 212, sejatinya secara spirit dan etosnya justru kembali ke Spirit Aksi Bela Islam 411 yang steril dari aneka kepentingan dan agenda tersembunyi para elit politik baik dari jajaran  pejabat pemerintahan maupun para politisi parlemen.

Ketiga. Reuni Akbar 212 Minggu kemarin sepenuhnya murni merupakan aksi warga yang terpanggil jiwanya untuk menegakkan kebenara dan keadilan. Bukan Aksi Massa, melainkan Massa Aksi yang penuh kesadaran dan dorongan hati nurani.

Keempat. Melihat fenomena yang terjadi di lapangan, yang mana warga masyarakat Muslim yang tumpah-ruah di Monas beramai-ramai melafazkan sholawat nabi yang merupakan tradisi amalan kaum Ahlus Sunnah wal Jammah, maka bisalah disimpulkan bahwa mayoritas warga yang hadir berasal dari kaum nahdliyin, meskipun belum tentu secara otomatis warga NU. Menyadari kenyataan tersebut, stigma yang dikembangkan berbagai kalangan yang menentang acara reuni akbar 212 bahwa perhelatan itu dimotori oleh Islam garis keras, Islam Wahabi dan Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), ternyata hanya fantasi dan prasangka ideologis semata.

Pesan Keras Reuni 212 Untuk Jokowi

Kelima. Berkumandangnya Lagi Kebangsaan Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh hampir 10 juta umat Islam dari seantero negeri, yang menggema di setiap sudut Monas dan Sekitarnya. Telah menggerus stigma bahwa perhelatan Minggu kemarin itu didasari oleh spirit anti Pancasila dan NKRI. Berkumandangnya lagu Indonesia Raya, telah menampakkan sesuatu yang selama ini gagal dibaca oleh para pakar politik maupun pengamat, bahwa sesungguhnya umat Islam merupakan kekuatan rahasia rakyat yang mendasarinya berdirinya NKRI. Daya Spiritual Islam merupakan sumber kekuatan immaterial nasionalisme.

Keenam. Kehadiran Prabowo Subianto di tengah lautan jutaan yang hadir dalam perhelatan tersebut sebagai pribadi, sementara pada saat yang sama Panitia reuni 212 batal mengundang Presiden Jokowi. Maka perhelatan akbar Minggu kemarin harus dibaca sebagai tergerusnya sumber legitimasi rakyat kepada Presiden Jokowi. Seraya pada saat yang sama, 10 juta umat Islam yang membanjiri Monas seakan memberikan dukungan non-verbal kepada Prabowo dalam Pilpres April 2019 mendatang.

Ketujuh. Ada sebuah fenomena yang tak kalah penting untuk dicermati sebagai tren yang membuka berbagai kemungkinan baru beberapa waktu ke depan. Maraknya apa yang dalam literatur ilmu politik disebut Civil Disobedience atau Pembangkan Sipil. Fakta bahwa umat tidak mengindahkan himbauan pejabat pemerintahan/elit politik maupun ulama agar tidak hadir di Monas.

Kita bisa melihat dengan terang-benderang betapa sia-sianya Gubernur Jawa Timur menghimbau warga Jatim agar tidak ke Monas. Justru sebaliknya, ribuan warga Jatim berbondong-bondong tumpah-ruah di Monas.

Himbauan ulama Jawa Barat seperti Ketua MUI Jabar Rahmat Syafei agar warga Jabar tidak hadir dalam reuni 212. Kenyataannya malah sebaliknya. Warga Jabar tercatat sebagai peserta yang paling banyak hadir di Monas, setelah warga Jakarta.

Kedelapan. Fakta bahwa hadirnya berbagai tokoh maupun kelompok agama lain di Monas, semakin memperkokoh legitimasi perhelatan reuni akbar 212 bisa jadi sumber inspirasi baru untuk membangun kembali  basis-basis legitimasi masyarakat baru ke depan.

Kesembilan. Ukhuwah Islamiyah dan Kebangkitan Spiritual Islam, telah menampakkan diri secara terang-benderang di  Monas sebagai apa yang disebut Bung Karno Imanensi Krachten atau Kekuatan Rahasia Rakyat.

Kesepuluh. Melalui fenomena Aksi Bela Islam 411 maupun 212, Umat Islam pada perkembangannya telah menemukan sebuah tradisi baru dan format pergerakan umat sebagai fondasi dalam menyusun People Power ala Indonesia. Dalam rangka  menegakkan kebenaran dan keadilan yang dituntun oleh hikmah kebijaksanaan para ulama dan guru-guru bangsa.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.