Muhammad Saleh Werdisastro (Foto: Istimewa)
Muhammad Saleh Werdisastro (Foto: Istimewa)

Jakarta, Aktual.com – Saat itu, 14 Mei 1966, ribuan orang berjalan kaki di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Hampir sebagian besar toko tutup. Mobil, sepeda motor, sepeda dan becak menepi.

Semua memberi ruang untuk ribuan pejalan kaki yang mengantar jenazah R. Muhammad Saleh Werdisastro.

Pelayat yang mengiringi jenazah itu bergantian memikul keranda yang tertutup kain hijau berlambang organisasi Muhammadiyah. Dengan bacaan-bacaan doa dan shalawat, iring-iringan itu berjalan menuju Masjid Besar Alun-alun Utara Yogyakarta untuk proses sholat jenazah.

Usai sholat jenazah, iring-iringan itu kemudian berjalan lagi sekitar 2 km munuju ke pemakaman Karangkajen. Jenazah Muhammad Saleh Werdisastro kemudian dimakamkan berdampingan dengan pendiri organisasi Muhammadiyah, KH Achmad Dahlan.

Muhammadiyah sangat mengakui peran besar Muhammad Saleh Werdisastro. Bahkan, Amien Rais (saat itu) mengaku bahwa Muhammad Saleh Werdisastro adalah idolanya.

Siapa Muhammad Saleh Werdisastro ini?

Muhammad Saleh Werdisastro lahir di Sumenep, Jawa Timur, 15 Februari 1908 (meninggal di Yogyakarta, 14 Mei 1966 pada umur 58 tahun) dari pasangan R. Musaid Werdisastro dan R. Ayu Aminatuszuhra. Ayahnya adalah seorang cendekiawan dan budayawan Madura penulis buku ”Babad Songenep” (Sejarah Sumenep) yang menggunakan bahasa Madura, berhuruf Jawa.

Setelah menamatkan sekolahnya di Hogere Kweekschool (HKS) di Purworejo dan Magelang 15 Mei 1930, Muhammad Saleh diangkat menjadi guru Gouvernements HIS (Hollands Inlandse School), Sekolah Dasar 7 tahun di Rembang, Jawa Tengah.

Namun, pekerjaan yang bergengsi saat itu ditinggalkannya. Dia memilih kembali ke tanah kelahirannya,  Sumenep pada 1931.

Dengan segala tantangan saat itu, dia memberanikan diri mendirikan sekolah setaraf HIS yang dapat menampung anak-anak lapisan bawah di Sumenep. Akhirnya sebuah sekolah HIS Partikelir (PHIS) bernama Sumekar Pangabru dibuka pada 31 Agustus 1931 dan Muhammad Saleh jadi Kepala Sekolah.

Yang menarik, di PHIS Sumekar Pangabru, anak didiknya tidak hanya diajar menuntut ilmu saja. Rasa kebangsaan juga ditumbuhkan. Banyak murid yang enggan lagi menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus.

Akibatnya, Muhammad Saleh mendapat teguran dari Residen Mudura saat itu. Sebagai aksi perlawanan, Muhammad Saleh kemudian menghapus mata pelajaran menyanyi di sekolah PHIS.

Setelah sepuluh tahun membesarkan PHIS Sumekar Pangrabu, pada 1 September 1941 dia memutuskan untuk hijrah ke Yogyakarta. Mengabdi lebih jauh untuk membesarkan Muhammadiyah.

Di Yogyakarta, Muhammad Saelh mengawali karirnya sebagai guru di Gesubsidieerde Inheemse MULO Muhammadiyah Yogyakarta. Ketika tentara Jepang mulai menduduki Indonesia, dia terpilih sebagai salah satu calon pemimpin Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang berasal dari Muhammadiyah. Ada beberapa calon lain yang juga terpilih seperti Soedirman (kemudian menjadi Panglima Besar TNI), Kyai Muhammad Idris, Kyai Doeryatman, Soetaklaksana, Kasman Singodimejo, Moelyadi Djojomartono, dan lain-lain.

Pada 31 Agustus 1943, Muhammad Saleh mengawali pekerjaan militer sebagai Dai Dancho Dai Dang II Yogyakarta (dai dancho = mayor) bermarkas di Bantul yang tertelak di selatan kota Yogyakarta. Dia bertanggung jawab atas pertahanan wilayah Yogyakarta bagian tengah (mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke pantai laut selatan).

Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pemerintah RI membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) baik di pusat maupun di daerah. Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono IX dan para pemuka masyarakat Yogyakarta mencari calon yang tepat dan mampu untuk menjadi Ketua KNI Yogyakarta. Akhirnya, secara bulat pilihan jatuh kepada Muhammad Saleh Werdisastro guna memegang tampuk kepemimpinan KNI di Yogyakarta. Sultan langsung mengirim telegram memanggil ia sebagai anggota KNI Pusat. Selanjutnya KNI Pusat pada akhirnya dilebur menjadi DPR dan KNI Daerah menjadi DPRD.

Prajurit PETA saat itu mulai melucuti senjata tentara Jepang yang masih ada di Indonesia. Namun, tentara Jepang yang ada di Yogyakarta masih belum mau menyerah saat itu. Hal ini membuat marah rakyat Yogyakarta.

Akhirnya, Muhammad Saleh Werdisastro diutus Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk berunding dengan Jepang. Perundingan saat itu cukup alot dan memakan waktu lama. Rakyat tidak sabar lagi menunggu. Berbondong rakyat mendatangi Gedung Negara dan berteriak ”Pak Saleh keluar!”.

Muhammad Saleh akhirnya keluar. Di depan rakyat yang di puncak emosi, dia berkata lantang, ”Ketahuilah Saudara-saudara, saya sedang berunding dengan Jepang, percayalah kalian kepada saya”. Kemudian dia menghunus keris miliknya dan berkata lantang: ”Jika saya mengkhianati saudara-saudara, bunuh saya dengan keris ini”.

Saat itu juga massa terdiam. Senyap. Tak beberapa lama,  mereka membubarkan diri.

Dan sejarah akhirnya memang berbicara. Perundingan antara Muhammad Saleh dan Jepang tak menghasilkan apa-apa. Jepang tetap tidak mau menyerahkan senjatanya.

Dan Muhammad Saleh dengan kesatria menyatakan dia dan rakyat Yogyakarta terpaksa mengangkat senjata akibat penolakan Jepang tersebut. Benar, Muhammad Saleh Werdisastro akhirnya memimpin penyerbuan markas Jepang di Kota Baru. Dan Jepang menyerah di tangan rakyat Yogyakarta. Peristiwa ini dikenal sebagai sejarah Pertempuran Kota Baru.

Karir militernya sangat cemerlang saat itu. Dia juga sempat mendampingi gerilya Panglima Sudirman di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sampai akhirnya dia memilih mengundurkan diri dari militer dengan pangkat Letnan Kolonel.

Karier Muhammad Saleh Werdisastro kemudian berlanjut ke urusan pemerintahan. Dia diangkat sebagai sebagai Wakil Walikota Yogyakarta pada tanggal 1 Pebruari 1950 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sebagai Wakil Walikota dia aktif juga di Majelis Tanwir Muhammadiyah Pusat di Yogyakarta.

Dengan jabatan yang sangat strategis saat itu, dia ikut membidani pendirian Universitas Gajah Mada.

Cuma setahun di Yogya, tanggal 1 Agustus 1951 dia kemudian dipilih sebagai Walikota Raja Kasunanan Surakarta (Solo). Dia menjabat dua periode sampai dengan tanggal 17 Pebruari 1958.

Di masa jabatannya, dia memelopori berdirinya Universitas Raja Kasunanan Surakarta dan ikut aktif sebagai pengurus IKIP Muhammadiyah Surakarta bersama Drs. Sosrodiningrat dan Prof. Sigit.

Pada 29 Pebruari 1959, Muhammad Saleh Werdisastro diangkat menjadi Residen Kedu berkedudukan di Magelang. Untuk mengantisipasi pengaruh komunisme dalam militer, Muhammad Saleh Werdisastro secara tetap memberikan ceramah atau kuliah agama Islam di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Dalam bidang pendidikan dia memelopori berdirinya Universitas Magelang, bahkan sebelum adanya gedung yang memadai, kegiatan Universitas dan kuliah-kuliah dilaksanakan di Aula Keresidenan Kedu.

Muhammad Saleh Werdisastro mengakhiri karirnya sebagai pamong praja setelah pensiun sebagai Residen Kedu pada tahun 1964 dengan pangkat Gubernur. Dia pada akhir jabatannya sebagai residen sempat sakit dan dirawat di Rumah Sakit Tentara Magelang. Menurut tim dokter yang diketuai Brigjen TNI Parsono, Muhammad Saleh Werdisastro dinyatakan menderita sakit kanker lever dan usianya di perkirakan tidak lebih dari 1 tahun.

Pada tahun 1965 dia sekeluarga pindah ke Yogyakarta untuk menjalani masa pensiun disertai advis dari tim dokter agar banyak beristirahat. Namun, dia tidak mau berhenti berkarya. Ia masih terus melakukan kegiatan di Majelis Tanwir Muhammadiyah, dakwah agama Islam, ceramah, dan mengajar di universitas.

Bahkan dia bersama rekan lainnya di Muhammadiyah mengelola Harian Mercusuar Yogyakarta. Dia memang seorang pejuang yang penuh dengan ide-ide dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pikiran-pikirannya cemerlang dan diusahakannya untuk menjadi kenyataan. Namun kegiatan-kegiatannya yang meningkat rupanya tidak didukung kesehatan badannya yang mulai digerogoti penyakit lamanya.

Muhammad Saleh Werdisastro kembali jatuh sakit dan pada tahun 1966 dia wafat karena penyakit kanker levernya yang semakin parah. Dia sempat beberapa hari dirawat di Rumah Sakit PKO Muhammadiayah Yogyakarta. Jenazahnya dimandikan oleh warga Muhammadiyah, dan kerandanya ditutup dengan kain berlambang Muhammadiyah.

‘Kemuhammadiyahan’ Muhammad Saleh Werdisastro tak pernah luntur meski hampir separuh hidupnya berada di jalur kemiliteran dan kepamongprajaan. Semangatnya untuk terus membebaskan dan memerdekakan rakyat lewat pendidikan kemuhammadiyahannya tidak pernah hancur ditelan umurnya…

Itulah Residen Saleh Werdisastro..

 

(Faizal Rizki Arief)