AS versus Cina di Asia Pasifik menjelang kedatangan Raja Salman di Indonesia. (ilustrasi/aktual.com)

Kadang, sebuah prediksi atas dasar kajian yang dilakukan para pakar di Barat, seringkali bukan murni sebuah kajian akademik, melainkan suatu rekomendasi jangka panjang agar dalam waktu yang tepat, harus diiakukan oleh negara yang mana sang pakar tersebut mengabdi sebagai salah seorang penasehat strategisnya.

Ketika Harold McKinder pakar geopolitik Inggris bilang yang namanya daerah jantung atau heartland itu adalah Asia Tengah dan Timur Tengah, akhirnya dalam Perang Dunia I, Inggris benar benar mengamalkan kajian MCkinder. Taklukkan Turki, penguasa semua wilayah di kawasan Timur Tengah, dan bikin peta dunia baru di timur tengah.

MCkinder bilang yang namanya Outer Island itu terdiri dari beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, maka kita tahu semua bahwa sejak akhir abad ke 19, Inggris menguasai Myanmar, Malaysia, Brunei dan Singapura yang ada di Asia Tenggara, dan Sri Lanka, Pakistan, dan India, di Asia Selatan.

Kalau kita teliti prediksi Samuel Huntington, pakar studi politik dan masalah masalah strategis dari Amerka, ketika pecah perang terbuka antara AS versus Cina di Asia Pasifik, Cina akan bersekutu dengan Arab Saudi, Pakistan dan Iran.

Sedangkan Indonesia, Australia dan Jepang, dengan alasan dan pertimbangan yang berbeda-beda, akan bersikap netral. India, meski tidak secara jelas digambarkan sikapnya oleh Huntington dalam bukunya, namun menarik ketika pakar politik binaan Pentagon itu memprediksi ada tiga negara yang muncul dari pasca Perang terbuka AS versus Cina yaitu India, Australia dan Indonesia.

Berarti, tersirat bahwa India pun akan diisyaratkan akan bersikap netral. Maka itu, kunjungan Raja Salman ke India pun harus dicermati secara seksama dampak lanjutan.

Apakah prediksi Huntington, seperti halnya McKinder yang sempat pada saat Perang Dunia I berumur 47 tahun dan Pada Perang Dunia II berusia 78 tahun, juga merupakan semacam rekomendasi jangka panjang yang harus diamalkan Amerika?

Dalam Perang terbuka AS versus Cina itu, Huntington memprediksi akan meletus antara 2015-2017. Apa ini merupakan instruksi terselubung yang sebenarnya memang sudah direncanakan sejak 1994? Buku Huntington bertajuk “The Clash of Civilization” terbit pada 1994 lalu.

Atas dasar itulah, jadi masuk akal mengapa sekarang ini sepertinya ada semacam gerakan ke arah Power Shift atau pergeseran aliansi, yang ditandai dengan merapatnya Jepang, Australia dan Arab Saudi kepada Indonesia.

Foto Raja Salman untuk tatap redaksi

Kalau benar Indonesia memang sedang dikondisikan menjadi pendulum tengah di tengah perseteruan yang makin tajam antara AS versus Cina, maka Indonesiapun harus merespon perkembangan dan dinamika global tersebut secara strategis. Sehingga jangan terjebak euforia momentum kebangkitan ekonomi bahwa Arab Saudi bermaksud menggelontorkan dana sebesar 25 miliar dolar Amerika kepada pemerintah Indonesia.

Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa ketika Bung Hatta mencetuskan konsepsi Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif pada 1948 lalu, bukan saja masih tetap relevan hingga kini, melainkan harus diaktualisasikan kembali secara imajinatif oleh para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI saat ini untuk menghadapi tantangan zaman dan dinamika perkembangan global.

Jika tidak, maka Indonesia akan sekadar menjadi pemain pasif, penonton, atau jangan-jangan malah sekadar korban, dari pertarungan global yang mengarah pada tata ulang ekonomi-politik dunia baru.

Hendrajit