Ratusan nelayan dari berbagai wilayah melakukan aksi penolakan Reklamasi Teluk Jakarta, di Pelabuhan Muara Angke dan di Pulau G, Jakarta Utara, Minggu (17/4/2016). Dalam aksinya mereka menuntut agar seluruh proyek reklamasi di teluk Jakarta dihentikan dan Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perpres 54 Tahun 2008 yang melegitimasi proyek reklamasi dicabut.

Jakarta, Aktual.com – Mega proyek reklamasi Teluk Jakarta tidak hanya menjanjikan kemegahan bangunan dari 17 pulau buatan yang direncanakan. Mega proyek yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 300 triliun itu juga menyimpan bom waktu bernama tindak kejahatan korupsi.

“Saya setuju ada korupsi besar (reklamasi). Ada perlindungan dari penguasa dan itu terang-benderang,” terang politisi PAN, Yandri Susanto, kepada Aktual.com di Jakarta, Kamis (6/4).

SekretarisĀ Fraksi PAN di DPR ini memaparkan indikasi dari adanya praktik korupsi dalam proyek yang diadakan di atas lahan seluas 5.153 hektar ini. Salah satunya dengan tidak dimasukkannya dana reklamasi ke dalam APBD DKI Jakarta yang seharusnya dibahas bersama Pemprov dengan DPRD.

Menurut Yandri, hal itu telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Dan yang lebih buruk, tiadanya mekanisme pembahasan dalam DPRD sekaligus juga menihilkan aspek transparasi dan akuntabilitas.

“Satu rupiah pun menyangkut penyelenggara negara, dalam hal ini pemerintah DKI misal CSR atau sumbangan swasta, harus masuk ke anggaran dulu sebenarnya,” jelasnya.

Kasus korupsi reklamasi mencuat dengan ditemukannya praktik suap senilai Rp 2 miliar dari Presiden Direktur Agung Podomoro Land Arieska Widjaja kepada Ketua Komisi Pembangunan DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi. Agung Podomoro merupakan satu dari 167 perusahaan yang terlibat dalam proyek yang telah mengganggu perekonomian ribuan nelayan di Jakarta ini.

(Teuku Wildan)

Artikel ini ditulis oleh: