Ratusan nelayan dari berbagai wilayah melakukan aksi penolakan Reklamasi Teluk Jakarta, di Pelabuhan Muara Angke dan di Pulau G, Jakarta Utara, Minggu (17/4/2016). Dalam aksinya mereka menuntut agar seluruh proyek reklamasi di teluk Jakarta dihentikan dan Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perpres 54 Tahun 2008 yang melegitimasi proyek reklamasi dicabut.

Jakarta, Aktual.com – Membaca berita-berita tentang kunjungan tiga menteri ke pulau reklamasi sejak kemarin, saya terutama tertarik pada betapa banyak kebohongan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang “dibuktikan” Menko Maritim Rizal Ramli: ikan ada, nelayan ada 28 ribu, bangunan/ruko ada, ijin yang tak ada.

Saya beri tanda kutip pada “dibuktikan”, karena sebenarnya teman-teman yang langsung bekerja dengan para nelayan sudah tahu hal itu dan mungkin merasa lucu bahwa hal itu masih harus dibuktikan dan di”klarifikasi” (istilah Rizal Ramli). Lagi pula, para nelayan sedang berperkara di pengadilan melawan reklamasi. Kalau diakui pengadilan bahwa mereka “ada”, apa masih perlu dibuktikan?

Meskipun terasa lucu, bahkan komik, bagaimanapun kita syukuri bahwa skandal reklamasi terbuka selapis demi selapis. Dan ini berkat demokrasi yang memungkinkan antara lain para nelayan dan aktivis memberikan dorongan terus menerus selama enam bulan terakhir.

Saya berharap agar kita sampai pada kesadaran tentang hadirnya mentalitas kolonial pada perkara ini. Mengapa? Karena ia hadir juga di banyak kasus lain: Kendeng dan Luar Batang misalnya.

Mentalitas kolonial yang saya maksud adalah mentalitas yang seenaknya merasa berhak menduduki ruang hidup orang lain atau, dalam bentuk lain, merasa berhak merencanakan masa depan bagi suatu ruang untuk jadi ini-itu tanpa merasa perlu bertanya kepada penghuni ruang itu mau atau tidak.

Sementara itu gagal-pahamnya sebagian orang tentang perbedaan antara negara “menguasai” dan “memiliki” tanah perlu diwaspadai juga menunjukkan mentalitas kolonial di sebagain kalangan terpelajar kita. Kita semua perlu waspada supaya penjajahan negara otoriter tidak berulang oleh justru saudara sebangsa dan setanah air, bukan oleh bangsa lain. Bukankah warga Aceh dan Papua sudah berulang kali mengingatkan itu?

Solusi sederhana

Menurut saya solusi untuk permasalah ini sederhana saja dan sudah lama (40 tahun) ada dan sudah dipraktekkan di banyak tempat: Perbaikan tanpa penggusuran, melalui proses musyawarah (istilah Pancasila untuk “partisipasi” yang aktif, bukan cuma nonton).

Baik itu perbaikan alam-lingkungan maupun kehidupan sosial-ekonomi-budaya komunitasnya dapat dilakukan bersama-sama. Gagasan-gagasan bagus boleh datang dari mana saja (termasuk pemerintah) tapi dibahas bersama dengan tujuan yang sesuai dengan tujuan bernegara: jangan ada yang jadi korban, seharusnya semua orang meningkat kehidupannya, bukan malah makin dimiskinkan. Bagi yang tahu, proses itu tidak sulit meskipun repot.

Penulis: Director Rujak Center or Urban Studies, Marco Kusumawijaya 

Artikel ini ditulis oleh: