Aktivitas proyek reklamasi di teluk Jakarta, Kamis (14/4). Dalam rapat kerja yang berlangsung Rabu (13/4), Komisi IV DPR dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sepakat agar proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan. ANTARA FOTO/Agus Suparto/pras/ama/16.

Jakarta, Aktual.com – Masih belum hilang dari ingatan sorak sorai nelayan dan rakyat Jakarta ketika gugatannya dikabulkan oleh PTUN, 31 Mei lalu. Pengadilan meminta kepada tergugat, dalam hal ini gubernur DKI Jakarta, untuk menunda proses reklamasi sampai berkekuatan hukum tetap.

Pengadilan mewajibkan pihak tergugat untuk mencabut pergub nomor 2238 tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi terhadap PT Muara Wisesa Samudra. Hal tersebut disebabkan banyaknya aspek yang mendapatkan dampak buruk seperti lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial budaya.

Namun, pernyataan menko maritim baru, Luhut B Panjaitan, 13 September lalu menyayat hati rakyat Jakarta. Bertempat di kementerian ESDM, Luhut telah sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan reklamasi.

Keputusan ini jelas sepihak, tidak transparan, dan melanggar asas-asas hukum yang berlaku. Bagaimana tidak, putusan PTUN memiliki legal standing yang jelas serta kekuatan hukum yang valid. Namun, putusan hukum tersebut didobrak secara arogan melalui jalur kekuasaan.

Tindakan ini secara tegas menciderai hukum Indonesia, khususnya induk hukum UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang menyatakan secara gamblang bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal ini juga mengindikasikan naiknya Luhut sebagai menko maritim adalah untuk melegalisasi proyek reklamasi.

Keputusan yang diambil menko maritim tidak dibarengi dengan hasil kajian berupa dokumen maupun naskah akademik yang disebar kepada publik. Sehingga, masyarakat tidak dapat menilai apa saja yang menjadi pertimbangan dalam keputusan yang diambil tersebut.

Berbeda dengan keputusan moratorium sebelumnya yang hasil kajiannya bisa diakses dan bersifat transparan. Selain itu, penundaan dan pemindahan lokasi konferensi pers pada selasa lalu menunjukan sifat pengecut seorang menteri. Pasalnya konferensi pers yang akan dilakukan itu dikawal oleh aksi demonstrasi mahasiswa BEM Seluruh Indonesia dan nelayan.

Baru setelah aksi demonstrasi bubar, menko melaksanakan konferensi pers. Seharusnya jika proyek ini tidak bermasalah menteri tidak harus takut berhadapan dengan publik, rakyatnya sendiri.

Tidak hanya sampai disitu, ketika konferensi pers hendak dilaksanakan nyatanya pengawalan mahasiswa tetap berlanjut. Mahasiswa dari BEM UI hadir untuk mempertanyakan keputusan dilanjutkannya reklamasi. Secara mendadak terjadilah audiensi dan pemaparan kementerian kepada mahasiswa.

Terjadilah dialektika dan tidak sedikit pemaparan menteri mampu disanggah oleh mahasiswa. Menariknya, rekaman berupa video, audio, dll diminta untuk dihapus oleh menteri. Hal ini menunjukan rasa ketakutan dari hasil kajian yang masih belum transparan dan mempertegas bahwa tidak ada alasan untuk melanjutkan reklamasi, karena banyak kejanggalan disana sini.

Secara logika tegas tergambar bahwa reklamasi bukan untuk rakyat Indonesia, tetapi untuk para pengembang dan kalangan menengah keatas. Reklamasi juga merupakan produk yang melanggar nawacita, karena negara menjadi lemah karenanya.

Bagaimanapun juga nelayan membutuhkan laut untuk kehidupannya, bukan rusunawa ataupun pulau palsu yang menyediakan kebahagiaan semu.

Reklamasi adalah bentuk pemerkosaan kepada ibukota, karena jalur strategis perdagangan, perekonomian, bahkan sosial dan politik akan dikuasai oleh pengusaha dan pihak asing yang bermukim disana.

Jika sudah demikian, maka rakyat Jakarta tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya terbelenggu dalam penjajahan model baru. Maka selagi masih bisa bergerak, jangan siakan kesempatan tersebut. Karena ketika kita diam saat ibukota diperkosa, kita adalah anak durhaka.

 

Oleh: Bagus Tito Wibisono, Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia/Ketua BEM UNJ

Artikel ini ditulis oleh: