Puluhan wanita cantik yang tergabung dalam Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik (LIPKP) melakukan aksi di depan kantor Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) di Jakarta, Rabu (7/9/2016). Dalam aksinya para wanita cantik tergabung dalam Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik (LIPKP) mendesak BRTI agar proses revisi PP 52 dan PP 53 harus transparan dan melibatkan kelompok masyarakat.

Jakarta, Aktual.com – Wacana Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara untuk merevisi terhadap PP Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 tahun 2000 tentang Frekuensi dan Orbit Satelit sangat disayangkan.

Pasalnya, kebijakan itu hanya akan menguntungkan operator swasta dan malah merugikan operator BUMN. Mestinya, pemerintah berpikir lebih luas lagi salah satunya bagaimana ikut terlibat untuk mengejar bisa memajaki perusahaan mesin pencari seperti Google.

“Itu mestinya yang dilakukan oleh Rudiantara, karena di banyak negara Google bisa dikejar pajaknya. Bikin dong aturan untuk menjerat Google, Facebook, Twitter, Youtube, dan lainnya. Bukan mengobok-obok soal sharing frequency,” cetus Wakil Ketua Komisi I DPR, Hanafi Rais, di Jakarta, ditulis Kamis (6/10).

Salah satunya, kata dia, dengan melakukan revisi UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Karena di UU itu tidak mengatur soal pajak perusahaan over the top (OTT).

“Saat ini, saya akui UU Telekomunikasi kita sudah out of date (ketinggalan). Makanya ketika pemerintah mau memajaki Google, Twitter, Facebook, atau Youtube jadi susah, karena regulasinya juga belum ada,” tegas Hanafi.

Apalagi memang, di banyak negara seperti di Uni Eropa, ada regulasi yang mengikatnya, sehingga perusahaan seperti Google tunduk dan mau membayar pajak.

“Jika ada aturannya, mereka juga takut tidak bayar pajak, makanya pasti bisa patuh (bayar pajak) ke depannya,” ujar dia.

Bahkan jika pemerintah tidak mengurus terkait regulasinya terlebih dahulu, malah bisa akan kontraproduktif. Karena jika perusahaan seperti itu hanya diancam-ancam, sekalipun mereka melihat pasar di sini besar, tapi sangat mungkin mereka akan layanannya di sini.

“Kalau seperti itu, ya salah kita juga. Sehingga rakyat akan protes, wah pemerintan membatasi informasi dan sebagainya. Itu yang saya bayangkan. Makanya regulasinya dulu,” kata Hanafi.

Mestinya pola pikir Rudiantara, kata dia, harus lebih makro bagaimana merevisi UU yang akan mengakomodasi semua pihak. Jika seperti itu, kepentingan publik bisa lebih terjamin. Bahkan menurutnya, jika Menkominfo lebih berpikir untuk revisi UU demi memajaki Google akan lebih negarawan ketimbang hanya merevisi PP 52 atau PP 53.

“Saya kira itu (revisi UU) lebih penting. Sehingga pajak Google bisa dikejar dan timing-nya pas ketika negara juga membutuhkan anggaran yang besar,” jelas dia.

Sebelumnya, Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugieasteadi memastikan, pemerintah akan terus mengejar pajak dari perusahaan seperti Google. Saat ini pemerintah masih dalam proses pemeriksaan.

“Kita sedang lakukan terus pemeriksaan (tehadap Google) oleh pihak DJP. Masih jalan terus. Sampai kapan? Tergantung pemeriksaannya. Kalau ada bukti awal tindak pidana itu ya kita teruskan ke penyidikan,” tandas Ken belum lama ini.

Saat ini kasus pajak Google, kata dia, sudah masuk DJP Pusat tidak lagi di Kanwil Pajak. Target pemeriksaannya sendiri dijadwalkan bisa rampung dalam satu tahun.

“Kalau bicara target pemeriksaan, jangka waktunya satu tahun. Dan saat ini, soal Google ini sudah saya tarik lagi ke kantor pusat. Penyidiknya ada di sini,” jelas Ken.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka